Jumat, 23 September 2011

"Fear of Flying"

Widura IM

Pendahuluan

Studi dalam bentuk penelitian tentang takut terbang atau fear of flying termasuk jarang dilakukan. Salah satu penelitian yang paling penting tentang takut terbang dilakukan pada tahun 1980 ketika dua peneliti dari perusahaan industri penerbangan Boeing menemukan bahwa ternyata 18,1% orang dewasa di AS takut untuk terbang, dan 12,6% orang dewasa lainnya mengalami kecemasan ketika mereka terbang. Hal ini mengungkapkan adanya fakta bahwa sekitar satu dari tiga orang dewasa di Amerika takut untuk terbang. Penelitian ini juga menarik karena memberikan informasi tentang alasan mengapa mereka menghindari terbang. Sekitar setengah dari jumlah responden yang diteliti melaporkan bahwa meraka takut terbang tanpa ada alasan yang jelas, hanya sekitar enam persen yang berpendapat bahwa mereka takut terbang karena ketidak amanan penerbangan. Sebuah jajak pendapat lainnya yang dilakukan oleh Majalah Newsweek pada tahun 1999 menemukan bahwa 50% dari orang dewasa pengguna penerbangan komersial yang disurvei menunjukan ada gejala takut setidaknya kadang-kadang. Penelitian sejenis belum pernah dilakukan di Indonesia, padahal bila kita amati jumlah pengguna pesawat komersial cukup meningkat dan belum diketahui apakah sebenarnya mereka memanfaatkan jasa transportasi udara dengan menyenangkan atau sebenarnya karena terpaksa dan dengan ketakutan.

Dalam tulisan ini, penulis berusaha menguraikan pengertian, proses timbulnya fear of flying, apa saja simptomnya dan bagaimana mengatasinya. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi bahan informasi untuk pembaca yang berminat untuk mengetahuinya dan lebih menarik lagi bila ada rekan-rekan pembaca yang berminat menelitinya lebih dalam.

Reaksi Takut

Setiap orang memberikan respon takut terbang yang bervariasi. Reaksi yang umum adalah bahwa mereka berusaha kuat menghindari terbang dengan pesawat udara. Ada cukup banyak orang yang lebih senang memanfaatkan jasa transportasi darat ketika harus melakukan perjalanan bisnisnya atau perjalanan berlibur, mereka menghindari menggunakan pesawat udara. Tapi ada juga karena tuntutan dan sarana, terpaksa tidak bisa menghindar untuk memanfaatkan jasa transportasi udara. Bagi mereka yang takut, gejala yang dapat muncul ditunjukan melalui reaksi fisik, seperti berkeringat, detak jantung dan/atau bernafas bertambah cepat, atau mual. Bentuk reaksi lainnya untuk sementara orang adalah menggunakan obat-obatan penenang, dll.

Sebenarnya bila ditelusuri secara statistik, pesawat udara merupakan sarana transportasi yang lebih aman dibandingkan transportasi darat seperti kendaraan roda empat atau dua, sehingga penumpang atau calon penumpang pesawat udara tidak perlu takut. Bagi sebagian besar orang yang memiliki kecemasan yang berhubungan dengan menggunakan pesawat udara, statistik ini mepunyai makna bahwa dalam banyak kasus, rasa takut tidak secara langsung berhubungan dengan risiko kecelakaan pada transportasi pesawat udara. Dengan kata lain, risiko dan takut adalah dua hal yang berbeda, dan kita tidak dapat menggunakan statistik kecilnya risiko pesawat udara untuk meyakinkan seseorang bahwa terbang adalah aman.

Pengertian

Fear of flying secara sederhana dapat diartikan sebagai takut terbang, dan sebagai gejala takut, hal ini dapat terjadi pada penerbang dan awak pesawat lainnya maupun orang awam (baca: penumpang pesawat udara). Namun demikian, fear of flying sebagai gejala psikologis perlu difahami dengan benar agar tidak terjadi salah pengertian.

Beberapa ahli mengatakan, “fear of flying” dapat diklasifikasikan sebagai takut (atau “fear”) yang alamiah dan biasa terjadi terhadap kondisi objektif dan nyata. Misalnya, seseorang yang takut terbang karena ia pernah mengalami kecelakaan terbang atau dia melihat kondisi pesawat tidak sempurna sehingga dapat mencelakakannya. Dalam pengertian takut (fear), fear or flying” dapat diartikan takut untuk terbang reaksi rasa takut yang bersifat objektif, dan temporer. Dasar dari rasa takut disini bukan “anxiety” tetapi takut (“fear”). Sedangkan pengertian lainnya, “fear of flyingdiasosiasikan dengan ketakutan yang dikaitkan dengan kecemasan (anxiety) dan biasanya mempunyai sebab yang lebih dalam, seperti phobia, atau mansifestasi tak langsung dari satu atau beberapa gejala phobia seperti claustrophobia (takut terhadap ruangan tertutup) atau acrophobia (takut pada ketinggian).

Suatu kenyataan bahwa fear of flying muncul bukan semata-mata karena takut terbang saja namun disebabkan gabungan beberapa perasaan takut. Takut terhadap ruang sempit (claustrophobia), misalnya ketakutan ketika berada di kabin pesawat yang dirasakan sempit. Atau, takut terhadap ketinggian (acrophobia), atau takut yang berlebihan karena kemungkinan mendapatkan serangan yang mendadak misalnya karena pembajakan atau serangan terorisme dimana ia sulit untuk menghindar (agoraphobia). Atau, takut terhadap guncangan pesawat (turbulence), atau takut terbang karena pasawat melintasi perairan/laut yang luas atau terbang di malam hari, atau takut akan terjadi kecelakaan yang menyebabkan cidera atau kematian, atau perasaan aneh dan sensasi (naik pesawat udara) yang terjadi di sekitarnya. Atau, ketakutan yang disebabkan perasaan sangat tergantung pada keputusan penerbang yang tidak dikenal (being dependent on an unknown pilot’s judgment).

Proses terbentuknya fear of flying

Dari kondisi yang mendasarinya, secara teoritik fear of flying dapat terbentuk karena rasa takut (fear) dan cemas (anxiety). Dan dalam prosesnya, fear of flying dapat muncul tanpa sebab yang jelas (disebabkan mekanisme pertahanan diri yang terjadi secara tak sadar) atau karena ada penyebab faktual sebelumnya (sesudah mengalami kecelakaan atau atau nyaris celaka/nearmis atau karena melihat kecelakaan). Dilihat dari mekanisme terbentuknya fear of flying tentunya akan memberikan konsekuensi pada taktik intervensinya, karena seringkali khususnya pada penerbang (lebih-lebih di lingkungan militer) mereka akan lebih mudah mengatakan bahwa “saya sakit” daripada “saya takut”.

Apapun kondisi psikologis yang mendasarinya maupun mekanisme terbentuknya, perlu sama-sama difahami bahwa fear of flying perlu diwaspadai mengingat beberapa simptom yang menyertainya dapat menghambat performance seseorang. Kondisi ini menjadi sangat serius bila penerbang yang mengalaminya. Pesawat udara itu sendiri secara umum merupakan sarana transportasi paling aman yang ada. Menurut data statistik dari Departemen Transportasi Amerika, transportasi udara lebih aman dibandingkan dengan transportasi darat. Permasalahan yang terjadi adalah Departemen Transportasi kurang dapat membantu seseorang untuk menghentikan rasa takut untuk terbang.

Setiap orang yang terbang, bahkan seseorang yang tidak memiliki rasa takut untuk terbang, memahami bahwa memang ada risiko kecelakaan. Dalam menghadapi kecelakaan pesawat udara, pilot secara spesifik telah dilatih untuk tetap bersikap tenang dan berpikir jernih pada saat keadaan darurat, dan mereka diyakini mampu mengendalikan pesawat dalam keadaan darurat. Tanpa latihan khusus seperti yang dilakukan para pilot, maka banyak penumpang akan merasa khawatir terhadap bahaya yang akan terjadi saat pesawat mengudara.

Dari informasi yang ada, kita bisa menyadari bahwa sebagai manusia, kita merupakan sosok yang lemah, kita harus memiliki kontrol terhadap rasa takut tersebut, bukan hanya dalam perjalanan di udara tetapi juga di darat. Walaupun kadang diri kita tidak berada dalam posisi mengkontrol keadaan, namun kita masih bisa belajar secara psikologis untuk memiliki kamampuan dalam mengendalikan pikiran kita sendiri.

Secara teknis, beberapa buku mengkatagorikan takut terbang (fear of flying) sebagai fobia yang spesifik, merupakan salah satu bagian dari gangguan kecemasan (anxiety). Sebagai suatu kecemasan, “fear of flying” lebih disebabkan oleh sesuatu yang mungkin akan terjadi (atau suatu ketakutan bersifat subjektif) daripada terhadap sesuatu yang secara nyata atau faktual dapat terjadi.

Contohnya, ketika seseorang berada di dalam pesawat udara lalu ada asap yang keluar dari mesin pesawat ketika pilot mencoba untuk melakukan pendaratan darurat, maka jelas akan terjadi suatu bahaya, dan setiap orang pasti akan merasa takut. Tetapi ketika seseorang berada di dalam pesawat dengan semua sistem berfungsi secara normal dan aman, tetapi orang tersebut merasa takut seakan-akan terjadi sesuatu hal yang berbahaya, itu yang dinamakan kecemasan (anxiety).

Symptoms

Secara umum, seseorang yang memiliki pengalaman takut terbang memberikan informasi tentang dua gejala dasar, yaitu reaksi fisiologis, dan gejala psikologis.

- Reaksi fisiologis

  • ketegangan otot; tremors
  • sulit bernafas
  • lemah jantung; sakit pada dada
  • ketidaknyamanan pada organ abdominal dan intestinal
  • berkeringat, pusing, prickly sensations, mulut kering, wajah memucat

- Gejala Psikologis

  • daya ingat melemah
  • penyempitan persepsi
  • pertimbangan yang buruk (poor or clouded judgment)
  • ekpektasi negatif
  • berpikir perseverasi

Penyebab dasar fear of flying:

Dari pengalaman seorang psikolog yang kebetulan bertugas di lingkungan sekolah penerbang terdapat beberapa kejadian yang muncul dari para siswa sekolah penerbang yang menunjukan gejala fear of flying.

(a) Fear of flying dapat timbul karena minimnya informasi tentang prosedur dasar penerbangan, tentunya hal ini terjadi khususnya bagi para siswa sekolah penerbang yang menunjukan gejala fear of flying.

(b) Beberapa trauma psikologis yang berasal dari pengalaman atau mengamati kecelakaan penerbangan pesawat udara, dan

(c) Transference bersifat simbolik dari konflik interpersonal terhadap pengalaman terbang.

Bisa juga disamping empat alasan takut terbang di atas, terdapat alasan lainnya yang ditemukan pada siswa penerbang yang berkaitan dengan isu-isu latihan terbang yang menghasilkan buruknya kepercayaan diri.

Classification

  • Reaksi naluriah (instinct reaction)
  • Kecemasan dan ketakutan (anxiety & fear)
  • Mekanisme pertahan diri dan sindrom dekompensasi (defence mechanism & decompensation syndrome)
Dekompensasi diartikan sebagai kegagalan kompensasi defence mechanism yang berlanjut menjadi fear of flying.

- Sindrom Dekompensasi Primer – didasarkan oleh kecemasan dan berlanjut menjadi fobi.

- Sindrom Dekompensasi Sekunder – didasarkan karena pernah mengalami kecelakaan dan atau melihat terjadi kecelakaan pesawat udara.

Treatment, pemulihan mendasar untuk ganguan takut terbang:

a) Intervensi Terapi Quasi (Quasi-Therapeutic Intervention)

- Pemulihan dengan suport dan informasi

- Konseling & Critical Incident Stress DebriefingRata Penuh b) Behavioral therapy

- Relaksasi otot atau dengan latihan autogenik (Autogenic Exercise)

- Systematic Desensitization

c) Behavioral therapy “in-vivo” , Behavior therapy “in-vivo”, klien/pasien atau penerbang yang mengalaminya secara bertahap diajak terbang kembali.


Kepustakaan

Colebunders, R., (2011). Cured of Fear of Flying, Travel Medicine and Infectious Disease, Vol. 9, Issue 2, March 2011, p.82 . Institute of Tropical Medicine, University of Antwerp, Antwerp, Belgium

Freiberger JJ, Denoble PJ, Pieper CF, Uguccioni DM, Pollock NW, Vann RD. (2002). The Relative Risk of Decompression Sickness During and After Air Travel Following Diving. Aviation, Space, and Environmental Medicine 2002; 73:980–984.

Jones, DR. (1986). Flying and Danger, Joy and Fear. Aviation, Space, and Environmental Medicine 1986; 57:131–136.

Kraaij V, Garnefski N, and van Gerwen, L. (2003). Cognitive Coping and Anxiety Symptoms Among People Who Seek Help for Fear of Flying. Aviation, Space, and Environmental Medicine 2003; 74:273–277.

Oakesa, M., and Robert Borb R. (2010). The Psychology of Fear of Flying (Part I): A Critical Evaluation of Current Perspectives On The Nature, Prevalence and Etiology of Fear of Flying, Travel Medicine and Infectious Disease, Vol. 8, Issue 6, November 2010, p. 327-338

Strongin TS. (1987). A Historical Review of The Fear of Flying Among Aircrewmen. Aviation, Space, and Environmental Medicine 1987; 58:263–267.

Voge VM. (1989).
Failing Aviator Syndrome: A Case History. Aviation, Space, and Environmental Medicine 1989; 60(7, Suppl.):A89–91.

Picano JJ. (1990). An Empirical Assessment of Stress-Coping Styles in Military Pilots. Aviation, Space, and Environmental Medicine 1990; 61:356–360.

Kamis, 14 Juli 2011

TINJAUAN PSIKOLOGI TERHADAP PERILAKU TERAMPIL PROFESI PENERBANG

Drs WIDURA I.M., MSi

Pendahuluan

Setiap bidang pekerjaan umumnya memiliki spesifikasi keterampilan yang bervariasi sesuai dengan tuntutan masing-masing profesi. Demikian pula halnya dengan profesi penerbang. Profesi penerbang membutuhkan keterampilan yang tinggi dari individu untuk menjalankannya. Untuk memperolehnya, dituntut motivasi yang kuat dan sehat serta “aptitude” yang sesuai. Selain itu, kegiatan profesi ini melibatkan suatu lingkungan yang spesifik. Individu sering dihadapkan pada tuntutan psikofisiologis yang berat dengan berbagai risikonya. Lebih lanjut yang tak kalah pentingnya adalah lingkungan sosial yang khas dunia penerbangan yang tak jarang menuntut keterampilan sosial tertentu untuk beradaptasi.

Keterampilan-keterampilan tersebut tentunya diperoleh melalui proses seleksi, pendidikan dan pelatihan serta pengalaman yang panjang. Sebenarnya proses ini melekat pada semua profesi bila individu hendak mendapatkan keterampilan yang paripurna di bidangnya. Melalui proses seleksi diprediksi bahwa calon penerbang memiliki dasar kemampuan (capability maupun aptitude) yang sesuai dengan tuntutan tugas/profesi. Pelatihan yang terstruktur, sistematik dan berkelanjutan akan memunculkan perilaku terampil dari para penerbang, dan melalui pengalaman tugas mereka diharapkan dapat mengembangkan keterampilannya untuk menghadapi berbagai situasi tugas dan dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya kegagalan.

Namun demikian, kenyataan menunjukan proses tersebut belum sepenuhnya diterapkan karena berbagai alasan. Kondisi ini memberikan konsekuensi kegagalan operasional penerbangan yang masih bertumpu pada tingkat operator (penerbang). Berbagai publikasi hasil penyelidikan kecelakaan penerbangan menunjukan bahwa, faktor manusia masih merupakan penyebab utama sejumlah kecelakaan penerbangan. Dengan latar belakang tersebut, menjadi manarik untuk mengulas mengapa hal ini bisa terjadi. Pada kesempatan ini, akan ditinjau perilaku terampil atau “skill behavior” dengan aspek-aspek psikologis yang mempengaruhinya.

Perilaku Terampil

Dari pengertiannya yang umum, keterampilan merupakan suatu pola yang terorganisasi dan terkoordinasi dari aktivitas fisik, psikomotor, sosial, linguistik dan intelektual. Pengertian ini menunjukan esensinya pola yang terorganisasi dan terkoordinasi dari aspek-aspek keterampilan tertentu. Artinya, seseorang dikatakan terampil di bidang profesinya tidak hanya karena ia cerdas dan mampu secara fisik maupun motorik, tapi juga luwes dalam hubungan sosial yang muncul dalam bentuk keterampilan berkomunikasi dan efektivitas dalam bekerja sama.

Tentang aspek-aspek keterampilan itu sendiri, secara lebih spesifik Dhenin, Sharp, dan Ernsting (1978) mengelompokannya menjadi 3 kategori, yaitu ; perseptual motorik, bahasa, dan sosial.

Kategori keterampilan pertama adalah perseptual motorik yang melibatkan beberapa keterampilan yang lebih spesifik, antara lain ; keterampilan jasmaniah yaitu keterampilan yang berhubungan dengan kelenturan jasmani, kesiagaan fisik, dsb. Dapat dikatakan faktor psikologis kecil pengaruhnya pada keterampilan ini. Segi perseptual motorik lainnya adalah keterampilan manipulatif yang berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas gerakan kontrol yang berguna untuk mengendalikan berbagai instrumen pengendali sistem. Keterampilan ini cukup peka terhadap pengaruh psikologis yang dialami individu penerbang. Dilaporkan oleh Panitia Penyelidik Kecelakaan Pesawat Terbang TNI AU bahwa setidaknya terdapat 2 kasus dari 9 kecelakaan pada tahun 1976 s/d 1999 yang berhubungan dengan penyebab psikologis terhadap aspek keterampilan ini. Satu kasus karena reaksi motorik terlambat, dan kasus lainnya karena reaksi membeku atau freezing. (Widura, 1999)

Keterampilan lainnya yang berkaitan dengan perseptual motorik adalah keterampilan menangkap & memproses informasi. Keterampilan ini berhubungan erat dengan kemampuan seseorang menangkap informasi penting, daya timbang (judgement) serta pengambilan keputusan (decision making). Kegagalan dalam mewujudkan aspek keterampilan ini dapat berakibat fatal. Hasil analisis FAA (Federal Aviation Administration) sebagaimana dilaporkan Jensen dan Bennel (1977) menunjukan bahwa kesalahan penerbang dalam membuat judgement dan keputusan menyumbang tak kurang dari 50% terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang fatal selama tahun 1970-1974. Di TNI AU walau bukan sebagai penyebab utama, diperkirakan dari 19 kecelakaan (accident) dalam 5 tahun terakhir setidaknya 4 kecelakaan disebabkan masalah ini.

Kategori keterampilan kedua adalah keterampilan bahasa. Keterampilan ini erat kaitannya dengan kemampuan verbal yang penting untuk berkomunikasi, berfikir dan memecahkan masalah. (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978) Mungkin di Indonesia, TNI AU pada khususnya, keterampilan bahasa perlu mendapatkan perhatian mengingat bahasa penerbangan yang tertera di software maupun yang digunakan dalam kegiatan operasional umumnya menggunakan bahasa asing (baca : Inggris) yang bukan merupakan bahasa ibu dari para penerbang.

Di dunia penerbangan, keterampilan bahasa menjadi penting karena kesalahan menyampaikan pesan maupun interpretasi dapat berakibat fatal. Ada 3 fungsi bahasa di bidang ini, antara lain ; membagi informasi, mengarahkan tindakan, dan merefleksikan pikiran. Ke tiga fungsi ini sangat penting terutama bila keterampilan bahasa dibutuhkan untuk mendukung pemecahan masalah. (Orasanu, 1994)

Kategori keterampilan yang terakhir adalah keterampilan sosial atau lazim diistilahkan dengan keterampilan psikososial. Keterampilan ini berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menjalin kerjasama dan koordinasi. Suatu keterampilan yang relevan dengan aktivitas individu untuk membangun relasi antarpribadi, saling percaya, pertukaran informasi dan sikap, dsb. Tujuan utama dari interaksi sosial adalah koordinasi. Penelitian menunjukan bahwa meningkatnya situasi abnormal atau emergency dan beban akan menambah pentingnya koordinasi di antara crew. (Orasanu, 1994) Dan koordinasi ini ternyata tidak hanya berlaku pada pesawat berawak lebih dari satu, melainkan juga bagi pesawat terbang berawak tunggal. Setidaknya ada satu kejadian kecelakaan pesawat berawak tunggal di lingkungan TNI AU pada dua tahun terakhir menunjukan adanya kelemahan yang signifikan dalam keterampilan sosial yang berdampak pada efektivitas komunikasi dan koordinasi.

Keterampilan-keterampilan tersebut pada kenyataannya tidak berdiri sendiri-sendiri. Dalam aplikasinya keterampilan tersebut saling terkait erat dan saling mendukung bahkan juga dapat saling menghambat. Oleh karenanya diperlukan pelatihan yang sistematik dan berkelanjutan serta pengalaman yang cukup untuk mewujudkan aspek-aspek keterampilan tersebut secara utuh, efisien dan efektif.

Prinsip Pelatihan dan Perilaku Terampil

Untuk mewujudkan perilaku terampil dibutuhkan kemampuan (ability), ditambah kesempatan dan motivasi untuk belajar dan berlatih. Ada 3 fase yang harus dilalui seorang penerbang bila ia ingin memperoleh keterampilan yang utuh, yaitu ; fase kognitif, fase asosiatif, dan fase otomatisasi. (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978)

Fase kognitif merupakan tahap dimana penerbang belajar untuk memahami semua tugas yang dibutuhkan. Hal ini tidak hanya belajar tentang materi yang berhubungan dengan aspek-aspek teori, tapi juga belajar mengenai semua tindakan motorik yang efisien, efektif, dan akurat. Setelah semua tugas dapat difahami, berikutnya adalah fase asosiatif. Disini penerbang mempraktekan tugas-tugas tersebut secara runtut melalui latihan yang terkontrol untuk menekan kemungkinan terjadinya kekeliruan dalam rangka mengembangkan performance secara optimal. Dan terakhir adalah fase otomatisasi. Pada fase ini penerbang berlatih lebih intensif untuk mengalihkan kontrol kognitif ke gerakan otonom yang bersifat otomatis dalam mengaplikasikan keterampilannya secara efisien dan efektif.

Tercapainya fase otomatisasi tidak menjamin bahwa perilaku terampil dapat seterusnya berlangsung. Suatu keterampilan pada dasarnya harus dipelihara. Sears (dalam Orasanu, 1994) berpendapat “……. error not due to lack of basic abilities – but – error arise from temporary breakdowns in skilled performance”. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak berlatih dan memelihara keterampilan melalui proficiency.

Fase-fase pelatihan tersebut di atas penting untuk diikuti sebagai proses yang berkelanjutan dalam rangka membentuk perilaku terampil. Adalah suatu hal yang berbahaya bila fase-fase ini dilaksanakan secara tidak runtut atau ada pemaksaan pada satu fase karena adanya keinginan mewujudkan perilaku terampil secara instant. Sudah cukup banyak kejadian karena masalah ini. Pada dasarnya perilaku terampil mengikuti prinsip keurutan (sequential) dan tidak ada perilaku terampil yang muncul sendiri-sendiri. (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978) Perilaku terampil merupakan rangkaian aktivitas yang berlangsung berurutan dan saling tergantung satu sama lain, demikian pula dengan proses pelatihannya.

Penutup

Uraian menunjukan bahwa tuntutan tugas profesi penerbang berhubungan erat dengan bentuk perilaku terampil yang spesifik, serta bagaimana proses keterampilan tersebut diperoleh. Terdapat 3 kategori perilaku, yaitu perseptual motorik, bahasa, dan sosial. Masing-masing perilaku tersebut cukup peka terhadap dampak psikologis yang dialami individu penerbang. Beberapa kejadian kecelakaan telah membuktikannya. Pada pelaksanaannya ke tiga perilaku ini saling terkait dalam mewujudkan perilaku terampil. Untuk memperolehnya dibutuhkan pemahaman terhadap proses pelatihannya yang mengikuti fase kognitif, asosiatif, dan otomatisasi, dan ini semua harus diikuti secara sistematik dan berkelanjutan. Keinginan untuk mewujudkan perilaku terampil yang bersifat instant akan memberikan dampak berbahaya bagi keselamatan penerbangan.

Kepustakaan :

1. Dhenin, S.G., Sharp, G.R., dan Ernsting, J., (1978). Aviation Medicine, Physiology and Human Factors. London : Tri-Med Books Ltd.

2. Fuller, R. (1994). Behaviour Analysis and Aviation Safety. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., dan Fuller, R.,(eds). Aviation Psychology in Practice. Aldershot : Avebury Technical Ashgate Publ. Ltd.

3. ICAO, (1998). Human Factors Training Manual.1’st Ed. Doc 9683-AN/950.

4. Orasanu, J.M., (1994). Shared Problem Models and Flight Performance. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., dan Fuller, R.,(eds). Aviation Psychology in Practice. Aldershot : Avebury Technical Ashgate Publ. Ltd.

5. Widura IM., (1999). Psikologi & Keselamatan Penerbangan. Tinjauan Psikologi Terhadap Sebab-sebab Kecelakaan Penerbangan Dalam Rangka Peningkatan Keselamatan Penerbangan. Makalah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan. Jakarta : Lakespra Dr Saryanto.