Kamis, 30 Juni 2011

FAKTOR-FAKTOR PSIKOLOGI YANG MEMPENGARUHI PERILAKU TIDAK AMAN PENERBANG

Widura Imam Mustopo


Pendahuluan

Kemajuan industri penerbangan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir ditandai dengan meningkatnya kehandalan dan kinerja pesawat udara generasi baru hingga diaplikasikannya inovasi-inovasi berbagai peralatan operasional termasuk prosedur pengaturan lalu lintas udara, kedaruratan dalam pendaratan, dll. Hal ini tidak dapat dipungkiri memberikan dampak pada operator, penerbang pada khususnya, untuk lebih memperhatikan berbagai persyaratan kemampuan dan keterampilan yang harus dipenuhi. Faktor manusia menjadi penting terutama pada tuntutan terhadap aspek-aspek psikologis tertentu, mengingat kemajuan teknologi memberikan dampak pada meningkatnya tuntutan terhadap kemampuan yang berhubungan dengan kompleksitas kognitif. Perhatian terhadap aspek psikologi faktor manusia menjadi penting, kegagalan padanya dapat menyebabkan kecelakaan. Oleh karena itu, selama beberapa dekade belakangan ini berbagai upaya terus dilakukan untuk mencegah berulangnya kecelakaan pesawat udara. Namun pada kenyataannya berbagai upaya tersebut tidak menurunkan angka kecelakaan penerbangan yang disebabkan kesalahan manusia (human error).

Dari berbagai laporan resmi penyelidikan tentang sebab-sebab kecelakaan dapat digambarkan bahwa angka kecelakaan penerbangan yang disebabkan kesalahan manusia relatif tetap besar. Hasil analisis FAA (Federal Aviation Administration) seperti dilaporkan Jensen dan Bennel (dalam, Orasanu, 1992), menunjukan hampir 75% dari keseluruhan kecelakaan (accidents) maupun insiden (incidents) penerbangan disebabkan karena kegagalan manusia dalam mengoperasikan sistem penerbangan itu sendiri. Sebenarnya dengan berbagai kemajuan teknologi sarana peralatan, prosedur dan inovasi manajemen keselamatan penerbangan yang terus berkembang maka seyogyanya sebab-sebab kecelakaan karena faktor manusia dapat ditekan.

Hal yang sama tampaknya terjadi pula di penerbangan nasional, baik di lingkungan penerbangan sipil maupun militer. Dicurigai bahwa tingginya frekuensi insiden dan kecelakaan pesawat udara berhubungan dengan sebab-sebab pada faktor manusia. Menurut data yang dihimpun oleh KNKT (Komite Nasional Kecelakaan Transportasi) Departemen Perhubungan RI (Dephub), selama kurun waktu 1988-2003 telah terjadi 497 kali insiden dan kecelakaan penerbangan sipil/komersial di tanah air. Di antaranya terjadi 192 kecelakaan, atau ± 12 kali terjadi kecelakaan per tahun (www.dephub.go.id/knkt/ntsc-aviation/aaic.htm). Dari sumber data yang sama ditemukan bahwa faktor penyebab kecelakaan dari aspek manusia kurang lebih sebesar 35%; faktor gabungan manusia-teknis sebesar 21%; teknis (technical) sebesar 20% sisanya merupakan penyebab dari aspek cuaca (weather), lingkungan (environment) dan hal-hal yang belum teridentifikasi secara jelas (unidentified). Dari laporan Departemen Perhubungan, sejak tahun 2004 sampai dengan 2008 terjadi kenaikan kecelakaan penerbangan nasional sebesar 15,38% pertahun (Departemen Perhubungan, 2008), suatu kenaikan kecelakaan di penerbangan yang cukup besar untuk dijadikan perhatian.

Tidak jauh berbeda dari penerbangan sipil/komersial di tanah air, di lingkungan penerbangan militer khususnya di TNI AU, statistik insiden dan kecelakaan pesawatpun memberikan gambaran yang hampir sama. Statistik kecelakaan penerbangan di TNI AU selama lima tahun sejak 1998 sampai dengan 2003 menunjukan tetap tingginya faktor manusia sebagai penyebab yang terbesar. Dari 20 kecelakaan pesawat udara sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2003, 17 kecelakaan (57%) disebabkan oleh faktor manusia dan 13 kecelakaan (43%) karena faktor material (Dinas Keselamatan Terbang dan Kerja TNI AU, 2007).

Berikut ini akan diulas pendekatan faktor manusia dalam memahami perilaku tidak aman (safety behavior) khususnya di lingkungan penerbang.


Faktor Manusia, Human Error dan Kecelakaan Penerbangan

Secara tradisional, penyebab terjadinya kecelakaan pesawat udara sering diarahkan semata-mata karena kesalahan penerbang (pilot error). Bila membatasi tanggung jawab hanya pada penerbang saja berarti membebaskan orang lain atau faktor lain yang mungkin terlibat (Roscoe, 1980). Disadari atau tidak penggunaan istilah ”pilot error” cenderung akan membuat fakta-fakta pendukung terjadinya kecelakaan tetap tersembunyi yang sebenarnya bila dikenali lebih awal dapat mencegah terjadinya kecelakaan. Seperti diketahui lingkungan kerja penerbangan melibatkan teknologi yang tinggi dan menyangkut sistem yang kompleks termasuk pengaturan/prosedur kerja yang ketat. Hal ini membawa konsekuensi bahwa penyebab kecelakaan pesawat udara tidak mungkin menjadi tanggung jawa penerbang saja. Hampir tidak ada penyebab tunggal terhadap terjadinya kecelakaan pesawat udara. Mengapa seorang penerbang melakukan tindakan tidak aman sehingga terjadi kecelakaan perlu ditelusuri dan diselidiki lebih mendalam, terhadap kemungkinan-kemungkinan faktor-faktor lain sebagai penyebab, baik yang berasal dari orang lain di luar penerbang (pengawas, pemimpin, dan/atau rekan kerja) atau faktor lingkungan fisik tempat kerja, dan manajemen/organisasi.

Pada tahun-tahun belakangan ini, model tindakan tidak aman (unsafe act) yang dikemukakan oleh Reason (1990) yaitu generic cognitive error models telah banyak dimanfaatkan. Reason (1990), disini mengartikan skill-based adalah tindakan yang tak disengaja (unintended), terdiri antara lain slips dan laps, sedangkan tindakan tidak aman yang disengaja (intended) adalah kekeliruan (mistake) terdiri dari rule-based mistake atau knowledge-based mistake dan pelanggaran. Kekuatan model Reason adalah bahwa segmen kesalahan konsisten dengan kategori yang berlaku pada model pemrosesan informasi manusia/human information processing (Hobbs & Williamson, 2003).

Lebih jelasnya, perilaku tidak aman dapat diklasifikasikan ke dalam dua macam perilaku, yaitu ; salah (error) dan pelanggaran (violation). Kesalahan dibagi menjadi tiga macam kesalahan, yaitu; kesalahan keputusan (rule-based error), kesalahan pada keterampilan (skill-based error), dan kesalahan pengamatan (perceptual error). Sedangkan, pelanggaran muncul dalam bentuk tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur, aturan atau ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh otoritas (Reason, 1990 ; Shappell dan Wiegman, 2001, 2004). .

Baik kesalahan maupun pelanggaran, keduanya merupakan bentuk perilaku tidak aman yang bertumpu pada proses individual. Secara historis, sejumlah penelitian tentang keselamatan kerja berfokus pada individu (McKeon, 2004). Psikolog seperti Hollnagel (1993) dan Reason (1990) telah banyak meneliti proses kognitif dalam kaitannya dengan kesalahan manusia. Kesalahan faktor manusia sering diarahkan pada keterbatasan kognisi manusia, seperti terbatasnya daya ingat, dan kapasitas proses informasi/information processing capacity (Reason, 1997). Dalam pendekatan individu, perilaku tidak aman cenderung bersifat atributif seperti individunya pelupa, tidak memperhatikan, atau tidak mampu bahkan lalai. Di lingkungan penerbangan nasional, pendekatan ini masih cukup populer sehingga konsekuensinya kesalahan faktor manusia selalu di letakan pada individu, dalam hal ini penerbang. Bagaimana penanganan kasus kecelakaan pesawat Garuda GA 200 tanggal 7 Maret 2007 di Yogyakarta merupakan contoh nyata bagaimana pendekatan individu masih cukup kental di Indonesia (Kompas, 8 Maret 2008). Individu penerbang dianggap bertanggung jawab atas perilaku tidak aman yang mengakibatkan kecelakaan, oleh karena itu penerbang harus dihukum. Pendekatan ini kurang bermanfaat untuk melakukan intervensi perbaikan manajemen keselamatan disamping itu juga tidak efektif untuk memahami kesalahan sebagai hal yang tak terhindarkan sebagai bagian dari kondisi manusia. Walaupun benar bahwa tindakan tidak aman seseorang berhubungan dengan kemungkinan adanya kelalaian, namun mayoritas orang tidaklah demikian. Sebagian besar orang yang melakukan kesalahan serius adalah mereka para profesional yang umumnya sudah bekerja secara berhati-hati dan berdedikasi untuk melaksanakan pekerjaannya dengan baik (McKeon, 2004). Hal ini menunjukan bahwa pendekatan individual mengisolasi manusia dan perilaku tidak aman dari konteks sistem dia berada (Reason, 1997).

Pendekatan sistem melihat perilaku tidak aman dari sudut yang berbeda. Dalam pendekatan ini, penyebab terbesar timbulnya kesalahan dalam organisasi adalah karena adanya kesalahan sistem atau rancangan dibandingkan karena individu. Pendekatan sistem berkonsentrasi pada kondisi dimana individu bekerja dan berusaha membangun pertahanan-pertahanan untuk mencegah timbulnya perilaku tidak aman dan kesalahan-kesalahan atau mengurangi dampaknya. Kesalahan dilihat sebagai suatu konsekuensi dibandingkan sebagai penyebab. Bila terjadi kesalahan, asumsinya adalah lebih sulit merubah kondisi manusia, tapi lebih mudah merubah kondisi dimana manusia itu bekerja (McKeon, 2004).

Pendekatan sistem berusaha lebih holistik dalam memahami perilaku tidak aman. Pendekatan sistem melihat penyebab munculnya perilaku tidak aman dari berbagai area seperti individunya, tim, tugas, tempat kerja dan lembaga organisasi sebagai keseluruhan (Reason, 2000). Reason (1997) berpendapat bahwa banyak kesalahan merupakan hasil dari berbagai penyebab seperti faktor fisik, kognitif, sosial, dan organisasional. Pendekatan sistem memusatkan perhatiannya pada komponen manusia dalam sistem yang kompleks, kurang menekankan pada individu dan lebih mengedepankan faktor organisasional yang memunculkan kondisi dimana perilaku tidak aman itu terjasi (Reason, 1997). Faktor yang memberikan kontribusi terletak pada beberapa faktor yang saling berhubungan, seperti masalah komunikasi dan supervisi, beban kerja berlebihan, dan/atau kelemahan dalam pelatihan. Bagaimanapun, kegagalan dalam suatu industri yang kompleks membutuhkan pemahaman terhadap beberapa kejadian yang saling berhubungan dalam suatu perangkat yang kompleks menyangkut peran kognitif, sosial, dan organisasional (McKeon, 2004).

Faktor-faktor individual seperti stres, fatigue, dan motivasi yang buruk sering penyebabnya berasal dari lingkungan kerjanya itu sendiri. Faktor-faktor yang memberikan kontribusi terhadap kegagalan bisa karena perhatian yang terganggu, ingatan dipenuhi terlalu banyak fakta, atau penerbangnya stres. Fatigue, stres, dan interupsi merupakan faktor kontribusi yang vital terhadap kegagalan-kegagalan kognitif. Hal-hal tersebut dapat dirangsang oleh faktor-faktor organisasional seperti perencanaan beban kerja yang buruk, bekerja dalam jam kerja yang panjang atau beban kerja berlebihan, hal-hal tersebut membebani secara kuat pada individu, dan selanjutnya kesemuanya ini menuntut konsentrasi yang kuat. Faktor-faktor lingkungan seperti kejadian yang tidak biasa, beban kerja berlebihan, dan situasi stressful akan menekan individu dan meningkatkan kemungkinan terjadinya kesalahan (McKeon, 2004). Selain itu, stres waktu secara khusus juga merupakan penyebab yang kuat untuk terjadinya kekeliruan (mistakes) pada level rule-based dimana orang-orang biasanya tetap menggunakan ingatannya atau menggunakan aturan/prosedur yang ia tahu walaupun sebenarnya mereka salah (Reason, 1990).

Sebagai tambahan, kegagalan di tingkat sosial dan organisasi dapat terjadi bilamana manajemen atau organisasi tidak menciptakan budaya keselamatan (Reason, 1997). Contohnya, prosedur-prosedur operasional yang normal mungkin saja telah dirancang dan didokumentasikan dengan baik, tetapi tidak pernah di enforced terhadap kelemahan budaya. Dinamika kelompok dan budaya organisasi memainkan peran dalam menentukan bagaimana keselamatan secara efektif dikelola (Neal & Grifin, 2002). Cox dan Flin (dalam Gadd dan Collins, 2002) menyebutkan bahwa iklim keselamatan dapat dilihat sebagai indikator psikologis dari budaya keselamatan dalam suatu waktu tertentu. Dan iklim keselamatan ini dapat diindikasikan dari norma, nilai-nilai, sikap dan persepsi terhadap keselamatan. Jadi, sikap terhadap keselamatan dapat diasumsikan merupakan salah satu indikator dari iklim keselamatan.


Tindakan Tidak Aman Model Reason

Pada tahun-tahun belakangan ini model tindakan tidak aman yang dikemukakan oleh Reason (1990) yang dikenal dengan generic cognitive error models banyak digunakan. Model ini merupakan pengembangan dari model Reason tahun 1987 sebelumnya yang disebut generic error modeling system (GEMS), konsep Rasmussen tahun 1983 tentang skill-rule-knowledge (SRK), dikotomi slip/mistake dari Norman (1981), dan juga termasuk pelanggaran (violations) aturan sebagai hal yang berbeda dengan tindakan tidak aman. Walau Reason (1990) mengatakan bahwa pelanggaran tidak selalu dapat dimasukan. Mengikuti pendapat Reason (1990), skill-based, atau tak disengaja (unintended), tindakan tidak aman mengambil bentuk slips dan laps, sedangkan tindakan tidak aman yang termasuk disengaja (intended) terdiri dari rule-based atau knowledge-based mistakes dan pelanggaran. Kekuatan model Reason adalah bahwa segmen kesalahan konsisten dengan katagori model pemrosesan informasi manusia/human information processing (Hobbs & Williamson, 2003).

Walaupun pakar teori kesalahan seperti Rasmussen (1983) dan Reason (1990) tidak bertujuan untuk menjelaskan konsep perkembangan keterampilan, namun taksonomi tersebut secara jelas mengungkap perbedaan penting antara level-level kendali kognitif individu dengan situasi yang secara secara intensif telah dikenal dan dapat diprediksi (Hobbs & Williamson, 2003). Taksonomi Reason (1990) telah digunakan secara luas untuk menganalisis kasus kecelakaan maupun dikembangan khususnya dalam menjembatani antara model Reason yang teoritik dengan aplikasi di lapangan dalam rangka penyelidikan kecelakaan maupun manajemen keselamatan (Shappell dan Wiegman, 2001).

Dalam satu penelitian terhadap beberapa penyelidikan kecelakaan pesawat udara, Shappell dan Wiegman (2001) melalaui model Reason yang ia kembangkan, ditemukan bahwa kesalahan keterampilan (skill-based errors) merupakan yang terbanyak, diikuti kekeliruan keputusan (mistaken decision) baik rule-based maupun knowledge-based (Hobbs & Williamson, 2003).

Pendekatan Kognitif pada Kesalahan Manusia

Psikolog seperti Hollnagel (1993) dan Reason (1990) telah meneliti tentang proses kognitif dalam kesalahan manusia. Bila ditelusuri, kesalahan yang dilakukan individu pada dasarnya berakar pada keterbatasan kognisi manusia, seperti terbatasnya daya ingat, dan kapasitas proses informasi/information processing capacity (Reason, 1997).

Sejumlah pengertian yang menyangkut kesalahan manusia sudah banyak dipublikasikan terutama yang dikenal dengan istilah kesalahan kognitif (cognitive errors) oleh Reason (1990), dan Rasmussen (1982). Walaupun arah psikologis dari pengertian tersebut tidak serta merta dapat digunakan untuk menentukan sebab terjadinya kecelakaan, namun pengertian tersebut cukup membantu untuk memahami mekanisme kognitif yang mendasari terjadinya kesalahan manusia (Shappell dan Wiegman, 2001, 2004 ; McKeon, 2004).

1. Level Kinerja (Performance) Manusia

Memahami perbedaan level kinerja yang terjadi pada fungsi kognitif dapat membantu menjelaskan ”mengapa” kesalahan bisa terjadi. Untuk itu perlu sebelumnya dipahami bagaimana seseorang dapat menguasai suatu keterampilan dan selanjutnya diimplementasikan untuk mencapai kinerja yang optimal.

Umumnya, untuk mencapai kinerja yang dibutuhkan dalam menguasai tugas tertentu, orang akan melalui tiga tahap pembelajaran sejak ia mulai mempelajari suatu tugas sampai dengan tahap ia menjadi ahli atau terampil, yaitu level kognitif, level asosiatif, dan level otonom (Rasmussen, 1982 ; Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978). Level kognitif disebut juga level pengetahuan (knowledge-based level), mempersyaratkan pentingnya daya ingat, penalaran atau berfikir. Setelah semua tugas dapat difahami, berikutnya adalah tahap asosiatif. Pada tahap ini, declarative knowledge pada level pengetahuan diganti dengan procedural knowledge atau disebut juga level aturan (rule-based level). Dan terakhir, adalah level otomatisasi yang disebut level terampil (skill-based level). Ke tiga level kinerja ini untuk meningkatkan familirisasi dengan lingkungan dan tugas (Reason, 1990).

Level pengetahuan merupakan tahap dimana penerbang belajar memahami semua tugas yang dibutuhkan. Pengetahuan (knowledge) diperlukan karena orang belum tahu tentang materi atau situasi atau tugas yang harus dilakukan, belum ada latihan atau prosedur yang dihafalkan (Reason, 1990). Pada pelaksanaannya, di level ini orang tidak hanya menerapkan hasil belajar tentang materi atau tugas secara teoritis, tapi juga bagaimana melaksanakan tindakan motorik secara efisien, efektif, dan akurat (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978). Dalam mempelajarinya dan melaksanakannya, semua tindakan melalui proses analisis yang dilakukan secara sadar termasuk pengetahuan yang disimpan atau diingat. Pada kondisi kesadaran ini dipersyaratkan adanya usaha, dan juga kapasitas tertentu, sehingga cenderung untuk terjadi kesalahan (Reason, 1977).

Kinerja pada level aturan digunakan ketika prosedur yang telah diingat akan digunakan untuk memecahkan masalah yang sudak dikenal, namun bukan bersifat rutin, contohnya, ”bila” situasi ini terjadi, ”maka” lakukan tindakan ini (Reason, 1997). Situasi tersebut biasanya sudah pernah ditemui sebelumnya, atau pernah dilatihkan, atau ada prosedur yang harus dilakukan (McKeon, 2004). Dari sudut pembelajaran, pada level ini seperti telah disinggung sebelumnya, declarative knowledge pada level kognitif diganti dengan procedural knowledge atau dikenal dengan level aturan (Reason, 1990). Tugas-tugas atau materi yang ia terima dan disimpan pada level kognitif dipraktekan secara runtut melalui latihan yang terkontrol untuk menekan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam mengembangkan kinerja optimal (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978). .

Terakhir adalah level otonom yang disebut level terampil. Pada level ini, latihan yang lebih intensif diperlukan untuk mengalihkan kontrol kognitif ke gerakan otonom yang bersifat otomatis dalam mengaplikasikan keterampilannya secara efisien dan efektif (Dhenin, Sharp, dan Ernsting, 1978). Level terampil pada kinerja diaplikasikan melalui aktivitas rutin dan terpola (Reason, 1990). Pada penerapannya pada level kinerja ini, tindakan dilakukan secara otomatis, cepat, dan membutuhkan usaha kesadaran yang tidak besar.

Memahami ketiga level kinerja seperti diuraikan di atas dapat membantu mengklasifikasikan variasi mengapa orang melakukan kesalahan.

2. Kesalahan (error)

Kesalahan didefinisikan sebagai kegagalan (failure) bertindak sesuai rencana dalam mencapai hasil yang diinginkan (Reason, 1990, 1997). Kesalahan dapat terjadi dalam bentuk slip, lapses, dan keliru (mistake). Slips terjadi bila intensi dieksekusi dalam suatu tindakan yang tidak tepat, dan lapses adalah kegagalan bertindak sesuai ketentuan (Reason, 1990). Slips secara potensial dapat diamati (observable) dan sering disebabkan oleh faktor-faktor seperti ”grasa-grusu” atau terburu-buru, dan perhatian yang terbagi (Hudson, 2000). Lapses, di pihak lain, berhubungan dengan hal yang tak terlihat secara kasat mata seperti kegagalan mengingat dan sering hanya individu yang bersangkutan yang tahu. Baik slips dan lapses terjadi pada level terampil (Rasmusen, 1982). Kesalahan pada level terampil ini termasuk kegagalan yang disebabkan individu tidak memperhatikan (lack of attention) dan keliru memperhatikan (misallocation of attention). Beberapa penyebab eksternal antara lain; interupsi, gangguan selingan (distraction), dan kejadian yang munculnya tak terduga (McKeon, 2004). Pada umumnya slips tidak mengakibatkan kefatalan karena seringkali dapat dideteksi dengan cepat oleh individu. Sebaliknya lapses yang dapat mengakibatkan kegagalan bertindak, lebih sulit dideteksi. Sehingga dengan alasan ini lapses dapat dikatakan lebih berbahaya dibandingkan slips.

Kekeliruan (mistakes) perdefinisi diartikan sebagai kesalahan dalam membentuk intensi atau dalam memilih suatu strategi untuk mencapai tujuan (Reason, 1990). Kekeliruan ini melibatkan kelemahan dalam daya timbang (judgement) dan/atau adanya kelemahan dalam proses mengambil kesimpulan ketika memilih sasaran. Rasmussen (1982) menyebutkan, kekeliruan dapat terjadi pada level aturan (rule-base level) ataupun pada level pengetahuan (knowledge-base level). Pada level aturan, kekeliruan dapat terjadi karena penerapan yang salah dari suatu aturan yang baik, menerapkan suatu aturan secara tidak tepat, atau gagal untuk menerapkan suatu aturan yang baik. Aturan yang baik namun salah dalam menerapkannya dapat disebabkan oleh masalah rekognisi, contohnya bila terjadi informasi yang berlebihan (overloading) akan menghambat rekognisi. Dan hal ini dapat terjadi karena adanya variasi baru dari masalah yang sudah dikenal dan/atau pelatihan yang buruk (McKeon, 2004).

Pada level pengetahuan, tidak terdapat aturan dalam pemecahan masalah dan individu dipaksa untuk berfikir dengan sumberdaya yang terbatas karena situasinya baru. Hal ini membuat situasi sangat peka untuk terjadinya kesalahan (Reason, 1997). Kekeliruan pada level pengetahuan dapat terjadi karena orang menghadapi situasi baru, kemungkinan situasi kedaruratan yang menuntut proses analisis secara sadar dan adanya pengetahuan (McKeon, 2004).

Sebagian besar kesalahan terjadi pada level terampil, selanjutnya diikuti oleh level aturan, dan kemudian level pengetahuan (Lawton & Parker, 1998). Hal ini dapat dijelaskan karena hampir semua tindakan orang dewasa memiliki komponen keterampilan, sehingga apa yang dilakukan sebagian besar berada pada level otomatis. Kesalahan pada level terampil lebih mudah dideteksi oleh individu, sedangkan kekeliruan pada level aturan dan pengetahuan lebih sulit dideteksi (Reason, 1990). Kekeliruan diwaspadai lebih berbahaya dibandingkan slips dan lapses karena individu yang melakukan kekeliruan berfikir bahwa dia melakukan tindakan yang benar. Bukti yang menunjukan bahwa tindakannya keliru sering diabaikan karena yang bersangkutan yakin bahwa tindakannya benar (Hudson, 2000).

3. Pelanggaran dan Kontribusi Sosial/Psikologis Terhadap Kesalahan

Pelanggaran didefinisikan sebagai perilaku yang sengaja menyimpang dari aturan yang dibuat untuk keselamatan atau metode yang disepakati dalam mengerjakan suatu tugas atau pekerjaan (Reason, 1990). Perilaku pelanggaran ini biasanya berhubungan langsung dengan bagaimana orang beradaptasi terhadap situasi dimana ia berada dan menjadi anggota sosial dimana perilaku tersebut diatur oleh prosedur, cara bertindak (codes of practices), dan aturan-aturan (Hudson, 2000).

Secara konseptual, batas antara kesalahan dan pelanggaran tidak selalu jelas sebagaimana terlihat pada kedua tindakan tersebut yang sebenarnya sama-sama menyimpang dari standar kinerja yang ditentukan (Reason, 1997 ; Shappell dan Wiegman, 1997). Reason mengidentifikasikan pelanggaran sebagai bentuk kekeliruan aturan (rule-based mistake) berupa kegagalan dalam menerapkan aturan yang baik. Dia berpendapat bahwa aturan dapat dilanggar dengan berbagai macam alasan dan sesuai intensitasnya dapat diklasifikasikan dan dibedakan pada beberapa macam perilaku. Sebagai contoh, bila sebelumnya tidak ada niat secara khusus untuk melakukan pelanggaran maka perilaku tersebut dapat diklsifikasikan sebagai kesalahan. Tapi bila pelanggaran itu disengaja dan ada niat untuk membuat kerusakan pada sistem, perilaku ini diklasifikasikan sobatase. Bila tidak terdapat niat untuk merusak, maka perilaku tersebut adalah pelanggaran (Reason, 1990).

Hudson (2000) berpendapat bahwa pelanggaran lebih berbahaya dibandingkan kesalahan (slips, lapses, dan keliru/mistake) karena dalam pelanggaran terdapat niat dan kesengajaan untuk tidak mematuhi prosedur keselamatan atau prosedur lainnya. Hudson sependapat dengan Reason dan ahli-ahli lainnya yang mempercayai bahwa pertanyaan tentang bagaimana niat suatu perilaku dapat membedakan antara kesalahan dan pelanggaran (McKeon, 2004).

Dalam suatu ulasan berbagai penelitian yang menyelidiki pengaruh faktor-faktor kepribadian, faktor-faktor kognitif, dan faktor-faktor sosial terhadap kecelakaan, Lawton dan Parker (1998) mengemukakan bahwa terdapat dua kemungkinan arah untuk meneliti kecelakaan, bisa dari kesalahan dan/atau pelangaran. Mereka berpendapat, kesalahan terutama berhubungan dengan faktor-faktor kognitif, dan palanggaran berkaitan dengan faktor-faktor sosial/psikologis. Seperti dikatakan oleh Reason (1990) bahwa pelanggaran dapat dijelaskan melalui faktor-faktor sosial dan motivasional. Misalnya, orang melanggar karena ingin bekerja lebih efisien atau karena semua orang juga melakukannya. Berbeda dengan kesalahan, yang melibatkan ciri-ciri pemrosesan informasi individu yang menyangkut kegagalan pada kemampuan kognitif, seperti gagal memberikan perhatian secara efektif sebagai hasil pelatihan yang tidak adekuat, kebiasaan yang buruk, atau distraksi. Adanya perbedaan pada hal-hal tersebut akan memberikan konsekuensi strategi perbaikan yang diperlukan berbeda, yaitu perbaikan di aspek kognitif atau motivasi. Latihan keterampilan akan bermanfaat untuk mengurangi kesalahan, tentunya tidak terlalu bermakna bila sasarannya mengurangi perilaku melanggar. Mengurangi perilaku pelanggaran lebih cocok bila penyelidikan diarahkan pada faktor motivasional dan sikap individu sebelum terjadi kecelakaan (McKeon, 2004).


Budaya Keselamatan dan Iklim Keselamatan

Menurut Helmreich (1999), bagi penerbang setidaknya terdapat tiga budaya yang bekerja untuk membentuk sikap dan tindakannya, yaitu; budaya nasional, budaya profesional, dan budaya organisasi. Ketiga macam budaya tersebut erat pengaruhnya terhadap aktivitas penerbang sehari-hari sebagai anggota suatu organisasi. Oleh karenanya, ketiga budaya tersebut penting di dalam cockpit mengingat pengaruhnya terhadap perilaku penerbang ketika bekerja. Budaya organisasi penerbangan yang melibatkan teknologi tinggi dan menerapkan organisasi kerja yang sangat terstruktur, sistemik, dan terkontrol merupakan kerangka dimana di dalamnya budaya nasional dan budaya profesi (penerbang, teknisi, dll.) saling berinteraksi. Kondisi ini dipercaya membangun budaya keselamatan (safety culture) dan selanjutnya membentuk sikap dan perilaku terhadap keselamatan penerbangan (Heilmreich, 1999; Cooper, 2000).

Terdapat tiga komponen utama dalam budaya keselamatan, yaitu; komponen psikologis, komponen situasional, dan komponen perilaku (Gadd & Collins, 2002). Komponen situasional menyangkut struktur organisasi, misalnya; kebijakan, prosedur kerja, sistem manajemen, dsb. Komponen perilaku mencakup kinerja (performance), termasuk disini perilaku keselamatan dan perilaku tidak aman. Sedangkan komponen psikologis berhubungan dengan iklim keselamatan (safety climate) yang menyangkut norma, nilai-nilai, persepsi dan sikap terhadap keselamatan. Sejumlah ahli mengemukakan bahwa iklim keselamatan dapat dilihat sebagai indikator dari budaya keselamatan suatu organisasi yang diamati oleh anggota/karyawan dalam suatu waktu tertentu (Cox & Flin, dalam Gadd & Collins, 2002)

1. Iklim Keselamatan dan Perilaku Tidak Aman

Dalam studi iklim keselamatan, sejumlah peneliti berusaha mengkatagorikan variabel-variabel iklim keselamatan untuk mengkonstruk model dalam rangka menjelaskan interaksi antar variabel tersebut. Pada umumnya pengkatagorian variabel-variabel yang ada diorganisasikan mengikuti level atau tingkat dimana variabel tersebut berpengaruh. Jadi, variabel-variabel yang ada diklasifikasikan apakah berada di level organisasi, kelompok, atau individu. Sebagai contoh, Fogarty et al. (2001) mengembangkan suatu model untuk menjelaskan penyebab kesalahan (error) dalam pemeliharaan pesawat udara. Dengan menggunakan structural equation model (SEM), penyelidikan dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel organisasional, jabatan pekerjaan (job), dan individu terhadap terjadinya kesalahan. Hasilnya menunjukan bahwa efek dari faktor-faktor di level organisasional terhadap terjadinya kesalahan (error) dimediasi oleh faktor-faktor di level individual, seperti kondisi kesehatan dan stres. Studi lainnya dilakukan untuk meneliti penyebab terjadinya pelanggaran (violation) pada juru langsir kereta api di Inggris (Lawton, dalam Fogarty & Shaw, 2003). Walaupun variabel akibat yang diteliti berbeda (kesalahan vs pelanggaran), namun kedua model memperlihatkan kesamaan bahwa variabel di tingkat individual merupakan mediator hubungan antara faktor-faktor organisasional dengan perilaku tidak aman. Fogarty dan Neal (2002) menggabungkan kedua variabel dalam penelitiannya terhadap penyebab terjadinya kesalahan dan pelanggaran di industri konstruksi. Laporan penelitiannya mengungkapkan bahwa variabel iklim keselamatan dapat memprediksi kesalahan, dimana variabel di tingkat individual memprediksi kesalahan. Konstruk-konstruk psikologi yang saling berkaitan sebenarnya dapat disusun dan dilakukan untuk menjelaskan model iklim keselamatan (Fogarty & Shaw, 2003). Misalnya, sikap terhadap keselamatan dapat diasumsikan merupakan salah satu indikator dari budaya atau iklim keselamatan.

Dalam studi iklim keselamatan terdapat satu variabel yang juga penting, yaitu; sikap manajemen terhadap keselamatan. Dalam suatu studi tentang iklim keselamatan, dilaporkan bahwa persepsi karyawan mengenai sikap manajer terhadap keselamatan merupakan prediktor yang sangat penting (Zohar, 1980). Dalam studi iklim keselamatan, sikap manajemen terhadap keselamatan mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap perilaku melanggar. Sikap manajemen dapat mempengaruhi perilaku pelanggaran melalui sikap individu terhadap pelanggaran, norma subjektif atau norma kelompok tentang keselamatan, perceived control atau kontrol yang dipersepsikan individu sebagai tekanan di tempat kerja untuk tidak melakukan pelangaran.


Penutup

Demikianlah telah diulas secara selintas, mengenai pemahaman dasar perilaku tidak aman penerbang dalam konteks faktor manusia dan human error. Sebagaimana telah disinggung, hal yang terpenting studi keselamatan penerbangan adalah memahami human error dalam konteks manusia dimana faktor-faktor psikolo terlibat di dalamnya termasuk budaya yang berlaku di organisasi maupun budaya profesi penerbang itu sendiri.


Kepustakaan

Ajzen, I., (1988). Attitudes, Personality, and Behaviour. Milton Keynes: Open University.

Alper, S.J., and Kars, B.T., (2009). A Systematic Review of Safety Violations in Industry. Accident Analysis and Prevention, 41, 739-754.

Anfield, J., (2007). People and Error: Human Factors Principle in Safety Critical Industries. Organization Development Journal, 25(4), 39-47.

Baker, S.P., Qiang, Y., Rebok, G.W., and Li, G., (2008). Pilot Error in Air Carrier Mishaps: Longitudinal Trends Among 558 Reports, 1983-2002. Aviation, Space, and Evironmental Medicin, 79(1), 2-6.

Cooper, D., (2001). Improving Safety Culture: A Practical Guide. Hull: Applied Behavioural Science.

Cooper, M.D., (2000). Towards a Model of Safety Culture. Safety Science. 36(2), 111-136.

Dhenin, S.G., Sharp, G.R., dan Ernsting, J., (1978). Aviation Medicine, Physiology and Human Factors. London: Tri-Med Books Ltd.

Departemen Perhubungan R.I., (2008). Statistik Perhubungan, Buku I. Jakarta: Departemen Perhubungan Republik Indonesia.

Dinas Keselamatan Terbang dan Kerja, (2007). Laporan Insiden dan Kecelakaan Penerbangan TNI Angkatan Udara. Jakarta: Markas Besar Angkatan Udara.

Falconer, B.T., (2006). Attitudes to Safety and Organisational Culture In Australian Military Aviation. A Thesis Submitted in Fulfilment of The Requirements for The Degree of Doctor of Philosophy. New South Wales: University of New South Wales, Departement of Aviation.

Fogarty, G.J., Saunders, R., and Coolyer, R., (2001). The Role of Individual and Organizational Factors in Aviation Maintenance. Paper presented at the Eleventh International Symposium on Aviation Psychology, Colombus Ohio.

Fogarty, G.J., and Neal, T., (2002). Explaining Safety Violations and Errors in the Construction Industry. XXV International Congress of Applied Psychology, Singapore, July 7-12.

Fogarty, G.J., and Shaw, A., (2003). Safety Climate and the Theory of Planned Behaviour: Towards the Prediction of Unsafe Behaviour. In 5th Australian Industrial and Organizational Psychology Conference, 26-29 June 2003, Melbourne, Australia. (Unpublished).

Gadd, S., Collins, A.M., (2002). Safety Culture: A Review of The Literature. Broad Lane, Shefield: Health & Safety Laboratory.

Helmreich, R.L., (1999). Building Safety in The Three Cultures of Aviation. In The Proceeding of The IATA Human Factors Seminar (pp. 39-43). Bangkok, Thailand.

Hobbs, A., and Williamson, A., (2002). Unsafe Acts and Unsafe Outcomes in Aircraft Manitenance. Ergonomics, 45(12), 866-882.

Hobbs, A., and Williamson, A., (2003). Associations between Errors and Contributing Factors in Aircraft Maintenance. Human Factors, 45(2), 186-201.

Hopkins, A., (2006). Studying Organisational Culture and Their Effects on Safety. National Research Centre for OHS Regulation ANU.

Hudson, P.T.W., (2000). Safety Culture and Human Error in The Aviation Industry: In Search of Perfection. In, B.J. Hayward & A.R. Lowe (Eds). Aviation Resource Management (Vol. 1, pp. 19-31). Burlington, Vermont: Ashgate.

Hudson, P., (2001). Aviation Safety Culture. Leiden: Centre for Safety Science.

Kusnendi, (2005). Konsep dan Aplikasi Model Persamaan Struktur (SEM) dengan Program Lisrel 8. Bandung: Badan Penerbit Jurusan Pendidikan (JPE) FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia.

Lawton, R., & Parker, D., (1998). Individual Differences in Accident Liability: A Review and integrative Approach. Human Factors, 40(4), 655-671.

Lenne, M.G., Ashby, K., and Fitzharris, M., (2008). Analysis of General Aviation Crashes in Australia Using the Human Factors Analysis and Classification

McKeon, C.M., (2004). Psychological Factors Influencing Unsafe Behavior During Medication Administration. Dissertation for the Award of Doctor of Philosophy. University of Southern Queensland.

Neal, A., and Griffin, M.A., (2002). Safety Climate and Safety Behavior. Australian Journal of Management, 27, 67-75.

Neal, A., and Griffin, M.A., (2006). A Study of The Lagged Relationship Among Safety Climate, Safety Motivation, Safety Behavior, and Accidents at The Individual and Group Levels. Journal of Applied Psychology, 91(4), 946-953.

O’Connor, P., O’Dea, A., and Melton, J., (2007). A Methodology fo Identifying Human Error in U.S. Navy Diving Accidents. Human Factors, 49(2), 214-226.

O’Hare, D., (2006). Cognitive Functions and Performance Shaping Factors in Aviation Accidents and Incidents. The International Journal of Aviation Psychology, 16(2), 145-156.

Orasanu, J.M., (1992). Shared Problem Models and Flight Crew Performance. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., dan, Fuller, R. (Eds). Aviation Psychology in Practice. Vermont: Ashgate Publishing Company.

Patankar, M.S., (2003). Study of Safety Culture at an Aviation Organization. International Journal of Applied Studies. 3(2), 243-255.

Rasmussen, J., (1982). Human Errors: A Taxonomy For Describing Human Malfunction In Industrial Installations. Journal of Occupational Accidents, 4, 311-335.

Reason, J., (1990). Human Error. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Reason, J., (2000). Managing The Risks of Organizational Accidents. Aldershot, UK: Ashgate Publishing.

Reason, J., (1997). Human Error: Models and Management. British Medical Journal, 320, 768-770.

Roscoe, S.N., (1980). Concept and Definition. Dalam Stanley N. Roscoe (ed.), Aviation Psychology. Ames: The Iowa State University Press.

Shappell, S.A., and Wiegmann, D.A., (1997). A Human Error Approach to Accident Investigation: The Taxonomy of Unsafe Operations. The International Journal of Aviation Psychology, 7(4), 269-291.

Shappell, S.A., and Wiegmann, D.A., (2001). Applying Reason : The Human Factors Analysis and Classification System (HFACS). Human Factors and Aoerospace Safety, 1 (1), 59-86.

Shappell, S.A., and Wiegmann, D.A., (2004). Department of Defense Human Factors Analysis and Classification System: A Mishap Investigation and Data Analysis Tool (DoD HFACS). Washington, DC.: DoD.

Shappell, S.A., Detwiler, C., Holcomb, K., Hackworth, C., Boquet, A., and Wiegmann, D.A., (2007). Human Error and Commercial Aviation Accidents: An Analysis Using the Human Factors Analysis and Classification System. Human Factors, 49(2), 227-242.

Soeters, J.L., and Boer, P.C., (2000). Culture and Flight Safety in Military Aviation. The International Journal of Aviation Psychology. 10(2), 111-133.

Wiegmann, D.A., and Shappell, S.A., (2009). Human Error Perspectives in Aviation. The International Journal of Aviation Psychology, 11(4), 341-357.

Wiegman, D.A., Zhang, H., Thaden, T.L., Sharma, G., and Gibbons, A.M., (2004). Safety Culture: An Integrative Review. The International Journal of Aviation Psychology, 14(2), 117-134. Illinois: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Wiegman, D.A., Zhang, H., Thaden, T.L., Sharma, G., and Mitchell, A.A., (2002). A Synthesis of Safety Culture and Safety Climate Research. Tchnical Report ARL-02-3/FAA-02-2. Prepared for Federal Aviation Administration Atlantic City International Airport, NJ. Illinois: University of Illinois.

Kamis, 02 Juni 2011

FAKTOR LINGKUNGAN, PERBEDAAN INDIVIDUAL DAN SITUATION AWARENESS PENERBANG

Drs. Widura Imam Mustopo, MSi.

Pendahuluan

Kemajuan industri penerbangan yang pesat dalam beberapa puluh tahun terakhir ditandai dengan meningkatnya kehandalan dan kinerja pesawat terbang generasi baru hingga diaplikasikannya inovasi-inovasi berbagai peralatan operasional termasuk prosedur-prosedur ATC (air traffic control). Hal ini tidak dapat dipungkiri memberikan dampak pada operator, penerbang pada khususnya, untuk lebih memperhatikan beberapa persyaratan kemampuan dan keterampilan yang harus dipenuhi. Faktor manusia menjadi penting terutama tuntutan pada aspek-aspek psikologis tertentu, mengingat kemajuan teknologi memberikan dampak pada meningkatnya tuntutan terhadap kemampuan yang berhubungan dengan kompleksitas kognitif. Perhatian terhadap aspek psikologi faktor manusia menjadi penting, kegagalan padanya dapat menyebabkan kecelakaan. Oleh karena itu, selama beberapa dekade belakangan ini berbagai upaya terus dilakukan untuk mencegah berulangnya kecelakaan pesawat terbang. Namun pada kenyataannya berbagai upaya tersebut tidak menurunkan angka kecelakaan penerbangan yang disebabkan kesalahan manusia (human error).

Sejalan dengan performa pesawat terbang yang harus terus bergerak secara dinamis dalam lingkungan penerbangan yang dinamis pula, maka penerbang tidak hanya harus tahu bagaimana mengoperasikan pesawatnya, tapi juga harus memperolah gambaran yang akurat tentang lingkungan dimana pesawatnya bergerak. Menghadapi hal ini bukanlah tugas yang sederhana bagi penerbang, mengingat kompleksitas sejumlah faktor yang harus diperhitungkannya untuk membuat keputusan dan bertindak secara efektif. Khususnya terkait dengan situation awareness (SA), tugas penerbang tidak sesederhana sekedar mempersepsi data saja, tapi juga tergantung pada sejauhmana ia memahami secara mendalam data-data yang signifikan dari lingkungan yang didasarkan atas pengertian tentang bagaimana komponen dari lingkungan berinteraksi dan berfungsi, dan selanjutnya mampu memprediksi kondisi sistem ke depannya. Kesalahan SA jelas dapat menyebabkan dampak yang tidak diinginkan yaitu kecelakaan pesawat terbang.

SA sangat penting dalam konteks pengambilan keputusan dan tindakan penerbang, terutama bagi mereka yang bekerja dalam sistem yang kompleks dan lingkungan yang dinamis (Endsley, 1995). Tuntutan untuk mempertahankan SA menjadi sulit mengingat kompleksitas sistem dan dinamisnya lingkungan penerbangan yang dihadapi penerbang. Dalam lingkungan yang dinamis, banyak keputusan harus diambil dalam ruang dan waktu yang sempit dimana hal tersebut tergantung pada tugas yang terus berjalan dan analisis terhadap lingkungan juga harus terus diperbaharui (up-to-date). Hal ini membuat usaha untuk mempertahankan SA merupakan salah satu faktor penting yang menentukan kinerja penerbang sebagai pengambil keputusan, terutama dalam mencegah tindakan yang dapat menyebabkan kecelakaan. Kaempf, Wolf, dan Miller (dalam Endsley, 1995) mengambarkan bahwa “recognizing the situation provided the challenge to decision maker”, pendapat yang menunjukan pentingnya SA.

Terdapat tiga kegiatan dalam SA, yaitu; persepsi atau mengamati, memahami secara utuh, dan memprojeksikan apa yang akan terjadi di depan. Endsley (1999) mengungkapkan adanya tiga level dalam SA, yaitu; pengamatan terhadap faktor-faktor kritis dari lingkungan (Level 1 SA), memahami apa arti dari faktor-faktor tersebut khususnya dalam integrasinya dengan goal awak pesawat (Level 2 SA), dan memahami apa yang akan terjadi sesaat ke depannya (Level 3 SA). Dalam proses membentuk atau mencapai SA, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi SA dalam settings yang kompleks seperti halnya di penerbangan, yaitu; faktor individual yang membedakan individu satu dan lainnya dalam mencapai SA, dan faktor lingkungan eksternal yang mencakup kondisi stress, maupun perkembangan teknologi pesawat terbang yang berdampak pada pencapaian SA.

Secara teoritik yang didukung oleh beberapa penelitian terpisah menunjukan bahwa baik faktor eksternal maupun individual cukup berpengaruh pada SA. Faktor eksternal yang berkaitan dengan kondisi lingkungan termasuk di dalamnya kompleksitas teknologi dan stres serta beban kerja diketahui berpengaruh terhadap SA. Stresor misalnya dapat mempengaruhi SA dengan menyempitkan rentang perhatian, mereduksi masuknya informasi dan mengurangi kapasitas working memory. Bila volume informasi berlebihan dan jumlah tugas sangat besar (overload), SA akan terkena dampaknya. Faktor terbesar yang juga berpengaruh pada SA adalah tingkat kompleksitas berbagai sistem yang harus dioperasikan penerbang. Kompleksitas sistem dapat memberikan dampak negatif baik bagi beban kerja maupun SA penerbang sejajar dengan bertambahnya jumlah komponen sistem yang dikelola. Lebih kompleks sistem yang dioperasikan, akan bertambah pula beban kerja mental untuk mendapatkan SA yang baik. Faktor eksternal lainnya yang juga berpengaruh pada SA adalah automation. Perkembangan teknologi dalam bentuk automation memberikan kemudahan bagi operator untuk bekerja namun konsekuensinya juga dapat memberikan dampak negatif pada SA.

Demikian pula dengan faktor perbedaan individual yang di antaranya berkaitan dengan kemampuan (abilities) individu, seperti daya ingat dan perhatian, yang berpengaruh pada pencapaian SA. Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan dilaporkan bahwa terdapat perbedaan individual dalam proses pencapaian SA (Endsley, 1994, 1995, 1999). Kemampuan individu untuk memvisualisasikan dan memanipulasi objek-objek dalam ruang adalah hal penting untuk mencapai SA. Khususnya dalam lingkungan penerbangan dituntut kemampuan memahami hubungan spatial antara objek-objek yang bergerak secara dinamis dalam ruang tiga dimensi. Selain itu, untuk membentuk SA, dibutuhkan perhatian langsung (direct attention) dan memproses informasi dari lingkungan penerbangan, untuk kemudian memilih tindakan yang tepat. Dalam lingkungan penerbangan yang kompleks dan dinamis, informasi dapat menjadi berlebihan (overload), kompleksitas dan kemajemukan tugas dapat secara cepat melampui limitasi kapasitas perhatian. Secara teoritik Endsley (1994) mengemukakan bahwa SA juga berhubungan dengan kapasitas daya ingat kerja (working memory) serta kualitas daya ingat jangka panjang (long-term memory).

Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa secara teoritik yang didukung oleh beberapa penelitian terpisah menunjukan baik faktor eksternal maupun individual cukup berpengaruh pada SA. Dalam makalah disini akan diulas pengertian SA, elemen-elemen SA, faktor individual yang mempengaruhi situation awareness,faktor lingkungan eksternal yang mempengaruhi situation awareness, kesalahan situation awareness, faktor eksternal/tugas dan perbedaan individual dalam mempertahankan SA, dan instrumen untuk mendeteksi SA, serta bagaimana faktor-faktor tersebut dapat berpengaruh pada pencapaian SA.

Pengertian Situation Awareness (SA)

Seperti telah diuraikan sebelumnya, dalam situation awareness (SA), tugas penerbang tidak sekedar mempersepsi lingkungan saja, tapi juga sejauhmana ia memahami secara mendalam data-data yang signifikan dari lingkungan tersebut yang didasarkan atas pengertiannya tentang bagaimana komponen dari lingkungan berinteraksi dan berfungsi, serta selanjutnya ia mampu memprediksi kondisi sistem ke depannya. Secara formal situation awareness didefinisikan sebagai ;

“the perception of the elements in the environment within a volume of time and space, the comprehension of their meaning and the projection of their status in the near future” (Endsley, 1988)

Bila diamati definisi tersebut di atas, terdapat tiga kegiatan yang tercakup di dalam SA, yaitu; persepsi atau mengamati, memahami secara komprehensif, dan memproyeksikan apa yang terjadi ke depan. Lebih kongkrit, Endsley (1999) mengungkapkan adanya tiga level dalam SA, yaitu; perceiving critical factors in the environment atau pengamatan terhadap faktor-faktor kritis dari lingkungan (Level 1 SA), understanding what those factors mean, particularly when integrated together in relation to aircrew’s goals atau memahami apa arti dari faktor-faktor tersebut khususnya dalam integrasinya dengan goal awak pesawat (Level 2 SA), dan level yang tertinggi adalah an understanding of what happen with the system in the near future memahami apa yang akan terjadi sesaat ke depannya (Level 3 SA). Secara lebih rinci tiga level dalam SA;

Level 1 SA – Perception of The Elements In The Environment

Merupakan langkah pertama dalam mencapai SA yang berhubungan dengan pengamatan terhadap status, atribut-atribut, dan dinamika dari semua elemen dalam lingkungan yang relevan. Dalam hal ini, misalnya seorang penerbang mengamati elemen-elemen penting di lingkungan seperti mengamati adanya pesawat lain, terrain, status dari sistem dan instrumen lampu peringatan (warning lights). Dalam kokpit, penerbang berjaga mengamati semua sistem dan data yang relevan, seperti mengamati pesawat lain yang ada di sekitarnya dan data navigasi ketika pesawat bergerak.

Level 2 SA – Comprehension of The Current Situation

Memahami (secara menyeluruh) situasi yang didasarkan atas sintesa dari elemen-elemen yang diamati pada level 1. Level 2 SA secara sederhana dapat diartikan sebagai “menyadari” (being aware) adanya elemen-elemen lingkungan, untuk mengartikan elemen-elemen yang signifikan dengan tujuan (goal) awak pesawat. Disini awak pesawat mengambil data level 1 untuk mendapatkan gambaran lingkungan secara holistik, termasuk memahami secara utuh objek-objek dan kejadian-kejadian yang signifikan. Sebagai contoh, ketika melihat lampu peringatan di panel yang mengindikasikan adanya masalah untuk lepas landas, penerbang harus secepatnya menentukan keseriusan dari masalah tersebut dan menetapkan sesegera mungkin kelaikan pesawat dan mengintegrasikan dengan informasi kondisi runway untuk memutuskan apakah ia lepas landas atau menggagalkannya. Seorang penerbang yunior mungkin mampu mencapai level 1 SA seperti halnya penerbang senior, tetapi ia kemungkinan akan gagal untuk mengintegrasikan elemen-elemen data yang bervariasi untuk menentukan kondisi nyata saat itu juga, dalam kaitan memahami situasi secara utuh.

Level 3 SA – Projection of Future Status

Merupakan kemampuan untuk memproyeksikan ke depan tindakan yang akan diambil berdasarkan elemen-elemen lingkungan. Level ini dicapai melalui pengetahuan tentang status dan dinamika elemen serta memahaminya secara komprehensif situasinya (level 1 dan level 2). Amalberti dan Deblon (dalam Endsley, 1999) melaporkan bahwa umumnya penerbang senior sebagian besar waktunya adalah mengantisipasi kemungkinan kejadian di depan (future occurrences). Hal ini menunjukan pentingnya pengetahuan (dan waktu) untuk memutuskan tindakan yang tepat sesuai tujuan.

Elemen-elemen SA

Secara jernih dapat difahami bahwa dalam SA melibatkan tiga level SA, yaitu mengidentifikasikan hal-hal apa yang dibutuhkan penerbang untuk diamati, memahaminya, dan memproyeksikannya ke depan. Tentunya perlu diketahui elemen-elemen apa saja di lingkungan penerbang yang penting dalam SA. Sebenarnya elemen-elemen lingkungan yang penting untuk diketahui dapat bervariasi sesuai dengan berbagai jenis sistem pesawat terbang, namun umumnya elemen lingkungan yang penting untuk SA adalah sebagai berikut;

Geographical SA – elemen ini berhubungan dengan lokasi pesawat sendiri, gambaran terrain, bandara, kota-kota, arah navigasi, posisi relatif dari pesawat dalam gambaran geografis, landasan pacu & landasan taxi (runway & taxiway), jalur ke lokasi yang dituju, titik mendekat/menanjak (climb/descent points).

Spatial/Temporal SA – sikap (attitude), ketinggian (altitude), arah (heading), percepatan (velocity), percepatan vertikal (vertical velocity), gaya gravitasi, jalur terbang, deviasi rencana terbang dengan yang diijinkan (saat itu), kapabilitas pesawat terbang, jalur terbang yang diproyeksikan, waktu mendarat yang diproyeksikan.

System SA – system status, functioning and settings, settings of radio, peralatan altimeter dan transponder, komunikasi ATC (air traffic control communications), deviasi dari correct settings, flight modes and automation entries and settings, dampak dari kegagalan/penurunan fungsi sistem serta settings atas performa sistem dan keselamatan penerbangan, bahan bakar, waktu dan jarak yang ditempuh sesuai kapasitas bahan bakar.

Environmental SA – bentuk kondisi cuaca (area dan ketinggian serta gerakan), temperatur, icing, putaran angin, awan, embun, sinar matahari, turbulence, angin, microburst, kondisi IFR vs VFR, area dan ketinggian yang harus dihindari, keselamatan penerbangan, prediksi kondisi cuaca.

Untuk pesawat terbang militer, terdapat tambahan beberapa elemen penting yang berhubungan dengan misi militer, yaitu;

Tactical SA – identifikasi, status taktis, jenis, kapabilitas, lokasi dan dinamika pesawat lawan; kapabilitas sendiri dihadapkan dengan pasawat lawan; deteksi pesawat, kemampuan melepaskan rudal/tembakan dan mengunci sasaran; memprioritaskan ancaman; kondisi terkini dan prediksi intensi ancaman, taktik yang digunakan, manuver yang dilakukan dan pola menembak; status dan waktu misi.

Menentukan elemen SA yang dipersyaratkan untuk tiap kelas dan jenis pesawat adalah tergantung pada goals awak pesawat dalam situasi peran yang dihadapinya. Misalnya, apakah mereka dalam peran akan lepas landas, mendarat atau dalam kondisi kedaruratan (emergency).

Faktor Individual yang Mempengaruhi Situation Awareness

Untuk memahami SA dimana terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi SA dalam settings yang kompleks seperti halnya di penerbangan, telah dikembangkan model teoritik untuk menjelaskan faktor-faktor yang mendasari situation awareness (Endsley, 1999). Model tersebut dapat dilihat pada gambar 1. Terkait dengan faktor individual, Endsley (1994, 1995, 1999) berhasil mengidentifikasikan lima area utama yang berhubungan dengan perbedaan individual dalam SA, yaitu; kemampuan spatial (pandang ruang), attention (perhatian), memory (daya ingat), persepsi, dan fungsi-fungsi kognitif. Dari beberapa area tersebut masih dapat dikategorikan lagi mengingat dalam proses, aktivitas atribut berlangsung spesifik. Misalnya, dalam membahas daya ingat perlu membedakan antara daya ingat jangka panjang (long-term memory) dengan daya ingat kerja (working memory) sebagai bagian dari daya ingat jangka pendek (short-term memory). Fungsi-gungsi kognitif (Endsley, 1994) terbagi ke dalam, kompleksitas kognitif, kemandirian berpikir, dan locus of control.

Spatial

Kemampuan individu untuk memvisualisasikan dan memanipulasi objek-objek dalam ruang serta memvisualisasikan arah/orientasi dirinya terhadap objek-objek tersebut adalah hal penting untuk mencapai SA dalam sistem penerbangan.

SA khususnya dalam lingkungan penerbangan menuntut kemampuan memahami hubungan spatial antara objek-objek yang bergerak secara dinamis dalam ruang tiga dimensi. Kemampuan spatial ini juga dibutuhkan untuk tujuan-tujuan navigasi. Hasil penelitian Thorndyke dan Stasz (dalam Endsley, 1994) menemukan perbedaan signifikan antar individu dalam mempelajari peta, dimana hal ini berkorelasi dengan visual-spatial abilities.

Gambar 1. Model Situation Awareness dari Endsley.

Attention

Kapabilitas yang berhubungan dengan perhatian (attention) dan membagi perhatian (attention sharing) adalah hal penting untuk mencapai SA yang baik. Dalam settings penerbangan, perkembangan SA dan proses pengambilan keputusan sangat sempit karena perhatian dan kapasitas memory yang terbatas terutama bagi penerbang yunior dalam situasi yang terus bergerak. Untuk membentuk SA, dibutuhkan perhatian langsung (direct attention) untuk melihat dan memproses informasi dari lingkungan penerbangan yang dinamis, dalam rangka memilih tindakan yang tepat dan sekaligus mengeksekusinya. Dalam lingkungan penerbangan yang kompleks dan dinamis, informasi dapat menjadi berlebihan (overload), kompleksitas dan kemajemukan tugas dapat secara cepat melampui kapasitas perhatian yang terbatas. Mendistribusikan perhatian ke berbagai arah, dengan sumber informasi yang terbatas dan beberapa tugas yang harus dilaksanakan segera, merupakan tantangan tersendiri bagi penerbang. Beberapa peneliti (Damos, North & Gopher, dan Gopher & Kahneman, dalam Endsley, 1994) mendapatkan korelasi yang signifikan antara time-sharing dan flight performance, atau selective-attention abilities dengan keberhasilan penerbang.

Memory

Secara teoritik Endsley (1994) mengemukakan bahwa SA berhubungan dengan kapasitas daya ingat kerja (working memory) dan kuantitas serta kualitas daya ingat jangka panjang (long-term memory). Terutama working memory berperan penting dalam proses SA. Level 2 dan 3 SA melibatkan peran aktif working memory. Melalui working memory individu berusaha mengintegrasikan informasi terkini dari berbagai sumber, kemudian membandingkan informasi tersebut dengan tujuan, dan memproyeksikan skenario yang akan terjadi dari dinamika situasi yang diketahui. Working memory sangat berperan (dan dapat saja melebihi kapasitas yang ada) dalam kegiatan pengambilan keputusan dan pelaksanaan tugas-tugas penerbangan yang dinamis dan terus berlanjut. Dalam kondisi ini, daya ingat jangka panjang dapat membantu atau mengurangi secara substantif beban working memory.

Fungsi-fungsi Kognitif

Fungsi kognitif tingkat tinggi berguna dalam membantu pencarian informasi dan memasangkan atau mengintegrasikan informasi-informasi yang diperoleh (khususnya) ke bentuk Level 2 & 3 SA, yaitu; memahami dan memproyeksikan. Setidaknya informasi yang diperoleh dapat dipadankan dengan simpanan ingatan dan menganalisnya sesuai keperluan. Beberapa aspek dari fungsi-fungsi kognitif yang berhubungan dengan SA adalah kompleksitas kognitif, kemandirian berpikir, dan locus of control.

Kompleksitas Kognitif. Kompleksitas kognitif yang dimiliki individu berjenjang bergerak dari kongkrit sampai dengan abstrak. Individu-individu yang berpikir kongkrit akan merespon lingkungan dengan orientasi bersifat permukaan, mereka sangat tertutup untuk hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan dan mengidentifikasi secara kuat peran sosial dan posisi status. Sedangkan individu yang berpikir abstrak, cenderung bereaksi terhadap lingungan atas dasar nilai-nilai dan keyakinan internal. Kompleksitas kognitif ditemukan berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengatasi beban kerja mental dengan pemecahan masalah secara umum (Robertson, dalam Endsley, 1994).

Kemandirian Berpikir. Kemandirian berpikir ini berhubungan dengan kemampuan individu untuk merstruktur permasalahan secara kognitif, untuk melihat objek-objek yang jauh dari konteks, atau menyusun organisasi baru dari permasalahan yang tak terstruktur, sebagai kebalikan dari orang yang berpikir dependent yang umumnya terbatas pada organisasi masalah yang sudah ada saja (Witkin & Goodenaough, dalam Endsley, 1994). Beberapa hasil penelitian (Stasz & Thorndyke, 1980 ; Witkin, Goodenaough, & Oltman, 1977 ; Witkin, Moore, Goodenaough, & Cox, 1977, dalam Endsley, 1994) menunjukan bahwa individu-individu dengan kemampuan berpikir mandiri lebih efektif dalam mengambil keputusan dalam situasi yang bervariasi, termasuk pada tugas pengamatan, tugas transformasi, tugas melengkapi gambar, dan membaca peta.

Locus of Control. Locus of Control merupakan faktor penting untuk melihat sejauhmana individu berperan aktif untuk mendapatkan SA. Seseorang yang memiliki kontrol internal percaya bahwa keberhasilan yang dicapainya adalah karena tindakannya sendiri. Berbeda dengan individu yang lebih memiliki kontrol eksternal, yang lebih meyakini bahwa keberhasilannya disebabkan nasib baik, kesempatan, atau karena tindakan orang lain. Dalam penelitian yang berhubungan dengan SA, atribut yang ditampilkan dalam tes locus of control diadministrasikan untuk membandingkan beberapa kelompok penerbang tempur dalam simulasi misi pertempuran.

Faktor Lingkungan Eksternal yang Mempengaruhi Situation Awareness

Bila sebelum telah diulas tentang pengaruh dari perbedaan faktor individual terhadap SA, maka yang tidak kalah pentingnya adalah dampak dari sistem dan faktor eksternal terhadap SA. Faktor-faktor ini merupakan tantangan tersendiri bagi awak pesawat dalam mencapai dan mempertahankan SA yang baik dalam berbagai situasi. Beberapa faktor eksternal tersebut adalah;

Stres

Beberapa jenis faktor stres dalam lingkungan penerbangan yang dapat memberikan dampak pada SA, antara lain;

1. Stresor Fisik – bising (noise), vibrasi, kondisi dingin/panas, cahaya, kondisi atmosfer, jenuh (boredom), fatigue, perubahan siklus, gaya gravitasi, dan

2. Stresor Sosial/Psikologis – takut atau cemas, kondisi tak tentu, konsekuensi atau derajat kepentingan dari situasi yang terjadi, self-esteem, progres karir, beban mental, dan tekanan waktu (Hockey, dan Sharit & Salvendy, dalam Endsley, 1994).

Tingkat stres tertentu secara nyata dapat mengubah performance melalui meningkatnya perhatian terhadap aspek-aspek penting dari situasi yang dihadapi. Jumlah stres yang besar dapat memberikan konsekuensi negatif, sehubungan dengan meningkatnya fungsi otonom fisiologis dan aspek-aspek stresor yang menuntut perhatian individu untuk mengatasinya. Stresor dapat mempengaruhi SA dengan berbagai cara, seperti menyempitkan rentang perhatian, mereduksi masuknya informasi dan mengurangi kapasitas working memory. Sedangkan sejauhmana penurunan working memory memberikan dampak pada SA tergantung dari resources yang sesuai yang dimiliki individu. Resources ini berkaitan dengan long-term memory yang sesuai untuk mendukung, seperti pengetahuan dan pengalaman tentang situasi yang dihadapi (Endsley, 1999).

Beban kerja atau Workload (Overload/Underload)

Beban kerja yang tinggi merupakan stresor penting dalam penerbangan yang dapat memberikan dampak negatif bagi SA. Bila volume informasi berlebihan dan jumlah tugas sangat besar (overload), SA akan kena dampaknya dengan hanya memperhatikan informasi secara terbatas, atau penerbang tetap aktif bekerja mencapai SA dalam usahanya untuk mencegah kesalahan dengan informasi yang tak lengkap dan mengintegrasikannya. SA yang buruk juga dapat terjadi pada beban kerja yang rendah (underload). Dalam kasus disini, penerbang hanya memiliki sedikit ide tentang apa yang sedang berlangsung dan tidak secara aktif berusaha menemukan informasi penting, hal ini karena masalah kesiagaan atau kewaspadaan ataupun lemahnya motivasi. Umumnya dampak dari beban kerja yang rendah membuat penerbang hanya sedikit memberikan perhatian (misalnya, dalam penerbangan yang panjang) terhadap SA.

System Design

Kapabilitas pesawat terbang untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan dan bagaimana informasi itu ditampilkan memberikan dampak yang cukup besar bagi SA penerbang. Kurangnya informasi secara pasti dapat memunculkan masalah untuk SA, tetapi terlalu banyak informasi juga dapat menimbulkan masalah yang sama. Sejajar dengan pengembangan kemampuan avionik (sistem elektronika pesawat) pesawat terbang yang bertambah maju dalam beberapa dekade belakangan membawa peningkatan yang dramatis dalam jumlah tampilan informasi yang sesuai/diperlukan. Rancang bangun sistem yang terkait dengan sistem informasi dapat memberikan tampilan gambaran informasi yang lebih baik tentang situasi secara utuh. Perkembangan system design yang dapat mengintegrasikan data merupakan tujuan untuk mengurangi masalah SA karena kelemahan di bidang ini (Endsley, 1999).

Kompleksitas Sistem

Faktor terbesar yang menimbulkan tantangan bagi SA adalah kompleksitas berbagai sistem yang harus dioperasikan penerbang. Di sana terdapat beraneka macam banyaknya sistem avionik, sistem manajemen penerbangan (flight management system) dan berbagai teknologi lainnya di kokpit yang menambah kompleksitas sistem yang harus dioperasikan penerbang. Kompleksitas sistem dapat memberikan dampak negatif baik bagi beban kerja maupun SA penerbang sejajar dengan bertambahnya jumlah komponen sistem yang harus dikelola. Lebih kompleks sistem yang dioperasikan, akan bertambah pula beban kerja mental untuk mendapat SA yang baik. Bilamana tuntutan kerja melebihi kapabilitas manusia, maka SA akan terkena dampaknya.

Automation

Adanya perkembangan teknologi pesawat terbang yang lebih maju dan memberikan kemudahan seperti automation dapat memberikan dampak negatif pada SA. Operator sistem yang bekerja automation ditemukan menghambat kemampuan untuk mendeteksi kesalahan sistem dan jarang sekali mau menerapkan tugas secara manual ketika dihadapkan pada kegagalan automation (Billings, Moray, Wickens, Wiener & Curry, dalam Endsley, 1999). Sejumlah hasil analisis terhadap beberapa kecelakaan penerbangan menunjukan bahwa umumnya penerbang ketika mengalami kegagalan automation tidak menyadari bahwa keadaan sebenarnya dari sistem automation atau mengenyampingkan untuk mencek keadaan secra manual ataupun tidak menyadari kondisi parameter yang kritis yang sebenarnya harus ia pantau (Endsley, 1999). Mengandalkan automation membuat penerbang seringkali menjadi lambat untuk mendeteksi masalah dan menuntut waktu lebih lama untuk re-orientasi dirinya terhadap sistem parameter yang relevan, sejajar dengan diagnosis masalah dan asumsi untuk memanfaatkan cara manual ketika atomation gagal.

Kesalahan Situation Awareness

Taksonomi untuk mengklasifikasikan dan menjelaskan kesalahan (errors) dalam SA dikemukakan oleh Endsley (1999) berdasarkan model SA (lihat gambar 1). Taksonominya sendiri dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1: Taksonomi Kesalahan (error) SA



Level 1: Failure to coorectly perceive information

Data not available

Data hard to discriminate or detect

Failure to monitor or observe data

Misperception of data

Memory loss

Level 2: Failure to corectly integrate or comprehend information

Lack of or poor mental model

Use of incorrect mental model

Over-reliance on default values

Other

Level 3: Failure to project future actions or state of the system

Lack of or poor mental model

Overprojection of current trends

Other

General

Failure to maintain multiple goals

Habitual schema




Sumber: Endsley, M.R., (1999). Situation Awareness In Aviation System. Dalam, Garland, D.J., dan Hopkin, V.D., (Eds). Handbook of Aviation Human Factors. Mahwah, NJ: Lawrence Eribaum Associates.

Endsley mengaplikasikan taksonomi ini untuk menyelidiki faktor-faktor penyebab yang berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan pesawat terbang di Amerika Serikat berdasarkan laporan penyelidikan kecelakaan pesawat terbang selama periode empat tahun oleh National Transportation Safety Board (NTSB). Dari 71% kecelakaan yang terjadi, secara signifikan penyebabnya adalah human error, dan 88% dari penyebab humen error berkaitan dengan masalah SA. Dari 32 kecelakaan karena sebab kesalahan SA diidentifikasi 23 kecelakaan (72%) berhubungan dengan kesalahan Level 1 SA. Tujuh kecelakaan (22%) karena masalah Level 2 SA dimana data berhasil diamati namun tidak diintegrasikan atau difahami secara tepat, dan dua kecelakaan (6%) disebabkan kesalahan yang berhubungan dengan Level 3 SA dimana terjadi kegagalan untuk memprediksi atau memproyeksikan apa yang akan terjadi berdasarkan pemahaman penerbang terhadap situasi.

Eksternal/Tugas dan Perbedaan Individual dalam Mempertahankan SA.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa dari asumsi teoritik dan laporan penelitian menunjukan bahwa terdapat korelasi antar beberapa faktor di lingkungan eksternal seperti stres, beban kerja, System Design, Kompleksitas Sistem, dan Automation dengan SA.

Stresor misalnya dapat mempengaruhi SA dengan menyempitkan rentang perhatian, mereduksi masuknya informasi dan mengurangi kapasitas working memory. Padahal working memory perannya sangat besar untuk mencapai SA yang baik. Selain itu, beban kerja yang tinggi juga dapat menjadi stresor penting dalam penerbangan yang memberikan dampak negatif bagi SA. Bila volume informasi berlebihan dan jumlah tugas sangat besar (overload), SA akan kena dampaknya dengan hanya memperhatikan informasi secara terbatas, atau penerbang berusaha kuat mencapai SA untuk mencegah kesalahan dengan informasi yang tak lengkap. SA yang buruk juga dapat terjadi pada beban kerja yang rendah (underload). Beban kerja yang rendah akan membuat penerbang sedikit memberikan perhatian karena tidak ada tantangan untuk bersiaga.

Sejajar dengan perkembangan sistem avionik pesawat terbang yang maju dalam beberapa dekade belakangan membawa peningkatan yang dramatis dalam jumlah tampilan informasi yang diperlukan. Perkembangan system design yang dapat mengintegrasikan data atau informasi jelas akan mengurangi masalah pada SA. Faktor terbesar yang juga berpengaruh pada SA adalah tingkat kompleksitas berbagai sistem yang harus dioperasikan penerbang. Kompleksitas sistem dapat memberikan dampak negatif baik bagi beban kerja maupun SA penerbang sejajar dengan bertambahnya jumlah komponen sistem yang dikelola. Lebih kompleks sistem yang dioperasikan, akan bertambah pula beban kerja mental untuk mendapatkan SA yang baik. Bilamana tuntutan kerja melebihi kapabilitas manusia, maka SA akan terkena dampaknya.

Faktor eksternal lainnya yang juga berpengaruh pada SA adalah automation. Perkembangan teknologi dalam bentuk automation memberikan kemudahan bagi operator untuk bekerja namun konsekuensinya juga dapat memberikan dampak negatif pada SA. Automation yang diterapkan di pesawat terbang diindikasikan mempengaruhi SA dengan terhambatnya kemampuan penerbang untuk mendeteksi kesalahan sistem, dan seringkali juga membuat penerbang enggan menerapkan tugas secara manual ketika dihadapkan pada kegagalan automation. Mengandalkan automation juga membuat penerbang menjadi lambat untuk mendeteksi masalah dan menuntut waktu lebih lama untuk re-orientasi diri terhadap sistem parameter yang relevan, jelas hal ini berpengaruh pada pencvapaian SA yang baik.

Selain faktor eksternal yang berpengaruh pada SA adalah faktor individual dimana faktor ini berpengaruh pada proses individu dalam mencapai SA. Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan dilaporkan bahwa terdapat perbedaan individual dalam proses pencapaian SA. Karakteristik individu yang berhubungan dengan SA antara lain; kemampuan spatial, perhatian atau attention, daya ingat atau memory, fungsi-fungsi kognitif yang mencakup kompleksitas kognitif, kemandirian berpikir, dan locus of control.

Kemampuan individu untuk memvisualisasikan dan memanipulasi objek-objek dalam ruang serta memvisualisasikan orientasi diri terhadap objek-objek tersebut adalah hal penting untuk mencapai SA. Khususnya dalam lingkungan penerbangan dituntut kemampuan memahami hubungan spatial antara objek-objek yang bergerak secara dinamis dalam ruang tiga dimensi. Kemampuan spatial ini juga dibutuhkan untuk tujuan-tujuan navigasi. Dalam settings penerbangan, pembentukan SA dan proses pengambilan keputusan, dalam situasi yang terus bergerak dinamis, sangat dibatasi waktu karena perhatian dan kapasitas memory yang terbatas terutama bagi penerbang yunior. Untuk membentuk SA, dibutuhkan perhatian langsung (direct attention) untuk melihat dan memproses informasi dari lingkungan penerbangan, untuk memilih tindakan yang tepat dan mengeksekusinya. Dalam lingkungan penerbangan yang kompleks dan dinamis, informasi dapat menjadi berlebihan (overload), kompleksitas dan kemajemukan tugas dapat secara cepat melampui limitasi kapasitas perhatian. Secara teoritik Endsley (1994) mengemukakan bahwa SA berhubungan dengan kapasitas daya ingat kerja (working memory) dan kuantitas serta kualitas daya ingat jangka panjang (long-term memory). Terutama working memory, tipe memory ini berperan penting dalam proses SA. Working memory berpengaruh pada Level 2 dan 3 SA.

Fungsi kognitif berguna untuk membantu pencarian informasi dan mengintegrasikan informasi-informasi yang diperoleh ke bentuk Level 2 & 3 SA. Kompleksitas kognitif berhubungan dengan pola berpikir kongkrit sampai abstrak. Kompleksitas kognitif ditemukan berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengatasi beban kerja mental dengan pemecahan masalah secara umum (Robertson, dalam Endsley, 1994). Selain kompleksitas berpikir, kemandirian berpikir juga berhubungan dengan kemampuan individu untuk merstruktur permasalahan secara kognitif, atau menyusun organisasi baru dari permasalahan yang tak terstruktur. Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa individu-individu dengan kemampuan berpikir mandiri lebih efektif dalam mengambil keputusan dalam situasi yang bervariasi, termasuk pada tugas pengamatan, tugas transformasi, tugas melengkapi gambar, dan membaca peta. Dalam fungsi kognitif, diindentifikasi bahwa locus of control merupakan faktor penting untuk melihat sejauhmana individu berperan aktif untuk mendapatkan SA. Seseorang yang memiliki kontrol internal percaya bahwa keberhasilan yang dicapainya adalah karena tindakannya sendiri. Berbeda dengan individu yang lebih memiliki kontrol eksternal, yang lebih meyakini bahwa keberhasilannya disebabkan nasib baik, kesempatan, atau karena tindakan orang lain.

Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa secara teoritik yang didukung oleh beberpa penelitian terpisah menunjukan baik faktor eksternal maupun individual cukup berpengaruh pada SA. Hanya saja memang belum dapat diketahui sejauhmana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap pencapaian SA.

Instrumen Untuk Mendeteksi SA

Terdapat tiga jenis data yang dapat dikumpulkan dalam mendeteksi SA, pertama data hasil seleksi psikologis yang meliputi aspek-aspek kemampuan dan karakteristik individu. Data ini diukur menggunakan computer assisted tests (CAT4) dan paper and pencils test. Pengukuran dilaksanakan pada saat penerbang mengikuti pemeriksaan psikologi berkala yang dilakukan di Laboratorium Psikologi Penerbangan Dinas Psikologi TNI AU. Pengerjaan tes, sistem koreksi maupun evaluasinya menggunakan norma secara otomatis (computerized). Kedua, data yang diperoleh dari pengukuran melalui angket, khususnya yang berhubungan dengan pengukuran faktor eksternal, seperti; stres, beban kerja, sikap terhadap system design, kompleksitas sistem, dan automation. Data ketiga, merupakan skor SA yang dilakukan dengan menggunakan instrumen SAGAT atau The Situation Awareness Global Assessment Technique (Endsley, 1994). Asesmen dengan teknik SAGAT dilakukan ketika penerbang mengikuti pelatihan simulator dengan prosedur menghentikan secara random saat latihan simulator kemudian penerbang menjawab beberapa pertanyaan tertulis dari SAGAT, dan kemudian mengkoreksi sesuai kunci jawaban.

Penutup

Demikian ulasan tentang faktor lingkungan, perbedaan individual dan situation awareness penerbang. Dengan memahami hakekat dari SA berikut bagaimana kaitannya dengan faktor lingkungan, faktor individual maka selanjutnya akan lebih mudah untuk membuat strategi dalam mengelola SA agar tidak memberikan dampak yang fatal. Oleh karenanya dalam pelaksanaannya diperlukan instrumen tertentu untuk mendeteksinya.

KEPUSTAKAAN

Endsley, M.R., (1988). Design and Evaluation for Situation Awareness Enhancement. In Proceeding of The Human Factors Society 32nd Annual Meeting (pp.97-101). Santa Monica, CA: Human Factors Society.

Endsley, M.R., dan Bolstad, C.R., (1994). Individual Differences in Pilot Situation Awareness. The International Journal of Aviation Psychology, 4(3), 241–264. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Endsley, M.R., (1995). Toward a Theory of Situation Awareness In Dynamic Systems. Human Factors, Vol. 37(1), 32–64. Human Factors and Ergonomics Society.

Endsley, M.R., (1999). Situation Awareness In Aviation System. Dalam, Garland, D.J., dan Hopkin, V.D., (Eds). Handbook of Aviation Human Factors. Mahwah, NJ: Lawrence Eribaum Associates.

Endsley, M.R., (2000). Theoretical Underpinnings of Situation Awareness: A Critical Review. Dalam, Endsley, M.R., dan Garland, D.J. (Eds). Situation Awareness Analysis and Measurenment. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

ESSAI, (2000). Orientation on Situation Awareness and Crisis Management. European Community ESSAI Project. ESSAI (Enhanced Safety through Situation Awareness Integration in training) Consortium.

Huelmann, G., & Oubaid, V., (2004). Computer Assisted Testing (CAT) in Aviation Psychology. Dalam, Goeters, K.M. (Ed), Aviation Psychology : A Practice and Reasearch. Vermont : Ashgate Publishing Co.

Janis, I.L., (1982). Decision Making Under Stress. Dalam, Goldberger, L. & Breznitz, S. Handbook of Stress, Theoretical and Clinical Aspects. New York : Macmillan Publishing Co., Inc.

Kaempf, G.L., & Klein, G., (1992). Aeronautical Decision Making : The Next Generation. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., & Fuller, R., Aviation Psychology in Practice. Vermont : Ashgate Publishing Company.

Orasanu, J.M., (1992). Shared Problem Models and Flight Crew Performance. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., dan, Fuller, R. (Eds). Aviation Psychology in Practice. Vermont : Ashgate Publishing Company.

Sarter, N.B., dan Woods, D.D., (1991). Situation Awareness: A Critical But Ill-Defined Phenomenon. The International Journal of Aviation Psychology, 1(1), 45-57. Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Sri Lanawati (2005). Pengaruh Inteligensi, Kreativitas, Kecerdasan Emosi dan Kepribadian Terhadap Prestasi Akademik Mahasiswa. Disertasi (tidak diterbitkan). Depok: Universitas Indonesia.

Young Woo Sohn, (2004). Memory Processes of Flight Situation Awareness: Interactive Roles of Working Memory Capacity, Long Term Working Memory, and Expertise. Human Factors, Vo. 46, No. 3, 461-475. Human Factors and Ergonomics Society.