Kamis, 19 Juli 2012


PERAN ASPEK PSIKOLOGI USIA PENERBANG 60 - 65 tahun
Drs. Widura IM., M.Si.


Pendahuluan

Seperti telah diketahui, tanggal 23 Nopember 2006 ICAO telah menerbitkannya Amandemen ke 167 terhadap Annex 1 yang memperpanjang batas usia pilot dari 60 tahun menjadi 65 tahun pada hari ulang tahunnya.   Berbagai studi melaporkan kondisi aktual cukup mendukung diberlakukannya amandemen ini, namun kajian-kajian ilmiah, khususnya aspek psikologi yang terkait dengan usia kronologis dan performance pilot tetap perlu dicermati.
Dalam tulisan ini, penulis berupaya mengungkap beberapa pokok bahasan psikologi yang perlu menjadi perhatian terkait dengan diberlakukannya batas usia pilot di atas 60 tahun.  Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi penerbangan menempatkan porsi perhatian aspek kognitif menjadi lebih besar, mengingat tuntutan tugas kompleks terhadap kemampuan information processing, seperti kemampuan analisis, dan pengambilan keputusan.   Hal ini bukan berarti aspek yang berkaitan dengan perseptual-motorik tidak perlu diperhatikan, terutama dalam fase take-off dan landing dan/atau di lingkungan penerbangan militer. 

Teori Cognitive Aging

Penurunan aspek inteligensi.  Beberapa penelitian tentang inteligensi yang membedakan antara fluid intelligence (berhubungan dengan proses informasi baru, dan working-memory) dan crystallized intelligence (berhubungan dengan pengetahuan, long term-memory, dan informasi-informasi yang diperoleh melalui pembelajaran dan pengalaman yang lama) menunjukan bahwa pilot berusia lebih tua mengalami penurunan fluid intelligence tapi tidak dengan crystallized intelligence. (Hardy and Parasuraman, 1997)
Penurunan fungsi selektif terhadap informasi yang relevan (decline in inhibition).   Penelitian Hashes & Zacks, 1988 menunjukan bahwa pilot yang usianya lebih tua  terjadi penurunan proses kognitif yang berfungsi menyeleksi informasi yang relevan dengan situasi yang dihadapi oleh pilot.  Dalam kondisi ini, pilot seolah kebanjiran informasi yang tak semuanya penting untuk saat itu.
Penurunan sumberdaya information processing. Pada usia pilot yang lebih tua terjadi penurunan kecepatan prosesing, kapasitas working-memory, atau kapasitas perhatian.
Perlambatan dalam berpikir.  Perlambatan dalam berpikir ditemukan pada indikasi menurunnya reaction-time. (Binen, 1970; Cerella, 1994; Bashore, 1990; Hartley, 1992; dalam Hardy and Parasuraman, 1997)
Disuse.   Dengan asumsi bahwa berpikir adalah juga keterampilan, maka akan terjadi penurunan performance inteligensi bila tidak sering digunakan.  Pelatihan regular keterampilan berpikir mencegah terjadinya penurunan kognitif.

Studi tentang Cognitive Processing(Proses Kognitif).

Studi yang berkaitan dengan proses kognitif menyangkut empat aspek;  keterampilan perseptual-motorik, daya ingat, perhatian (attention), dan pemecahan masalah-pengambilan keputusan (problem solving-decision making). 
Walaupun otomasi kokpit pesawat modern mengalami perkembangan yang lebih menuntut pilot memaksimalkan fungsi berpikir dan melaksanakan tugas-tugas lebih strategis, namun keterampilan perseptual-motorik tetap penting.  Terutama keterampilan yang berkaitan dengan manuver dasar seperti take-off dan climb, mempertahankan flight path, final approach, dan landing.  Dan berbagai penelitian untuk semua jenis pesawat menunjukan bahwa pilot yang usianya lebih muda perseptual-motoriknya lebih baik dibandingkan pilot yang usianya lebih tua. 
Penelitian yang berhubungan dengan kokpit pesawat modern menuntut pilot untuk memaksimalkan fungsi berpikir dan melaksanakan tugas-tugas lebih strategis menyangkut pemecahan masalah-pengambilan keputusan, menunjukan hasil yang bervariasi disamping sedikit sekali penelitian yang terkait pada aspek ini. (Hardy and Parasuraman, 1997) 

Faktor-faktor Psikologis lainnya

   Pilot merupakan kelompok individu yang sangat terlatih.  Pelatihan sistematis dan pengalaman pilot yang signifikan meningkatkan keahlian (expertise) seorang pilot.  Sebagai seorang yang terlatih dan expert di bidangnya dicirikan oleh kemampuan dan otomatisasi keterampilannya. Tentunya sejauhmana peran “keahlian“ ini berpengaruh perlu dipertimbangkan sebagai hal yang mendukung (maupun yang merugikan), sehubungan diperpanjangnya batas usia pilot pensiun.
            Faktor psikologi lainnya yang perlu mendapatkan perhatian dengan diperpanjangnya batas usia pilot pensiun;  beban kerja dan manajemen beban kerja (yang terkait dengan stressor pilot), mental models (mindset), dan situation awareness, disamping keterampilan sosial, serta fatigue.  Interaksi antara keterampilan dasar kognitif yang telah diulas dengan faktor-faktor psikologi lainnya tersebut patut dicermati.   Faktor-faktor psikologi tersebut dan hasil interaksi daripadanya mungkin bukan menjadi kriteria prasyarat psikologi yang dipersyaratkan sehubungan dengan diperpanjangnya batas usia pilot, namun penting diperhatikan yang perlu dikomunikasikan dalam bentuk briefing - debriefing, atau pelatihan & indoktrinasi

Referensi :

American Medical Association, (2004).  The Age 60 Rule, Position Paper.

Broach, D., Joseph, K.M., dan Schroeder, D.J., (2003).  Pilot Age an Accident Rates Report 3 : An Analysis of Professional Air Transport Pilot Accident Rates by Age.  Oklahoma City : Civil Aeromedical Institute-Human Resources Research Division FAA.

Hardy, D.J., dan Parasuraman, R., (1997). Cognition and Flight Performance in Older Pilots,  dalam Journal of Experimental Psychology :Applied, Vol , No 4, 313-348. American Psychological Association, Inc.

Senin, 23 April 2012

FAKTOR PSIKOLOGI PADA FATIGUE DAN KONSEKUENSINYA TERHADAP KESELAMATAN PENERBANGAN

Widura Imam Mustopo
Pendahuluan
Salah satu permasalahan yang menonjol di penerbangan adalah bila terjadi frekuensi insiden dan kecelakaan pesawat (accidents) yang meningkat. Meningkatnya insiden dan kecelakaan dapat merupakan indikator bagi kesiapan operasional penerbangan. Kecelakaan penerbangan dapat disebabkan karena berbagai kemungkinan. Salah satunya karena kegagalan pada mesin pesawat udara, atau karena kondisi cuaca yang buruk. Sebab-sebab lainnya terhadap terjadinya insiden atau kecelakaan penerbangan dapat timbul karena kesalahan di tingkat individu (penerbang atau awak pesawat lainnya) atau pengendali lalu lintas udara yang sering dikenal dengan air traffic controller (ATC). Salah satu kondisi yang sering menjadi perhatian di tingkat individu ini adalah kelelahan individu atau sering dikenal dengan fatigue.
Memperhatikan hal di atas, kajian terhadap fatigue dalam upaya untuk mencegah terjadinya kecelakaan penerbangan dan sekaligus mempromosikan derajat keselamatan penerbangan adalah upaya yang penting. Tulisan ini akan mengungkap berbagai studi tentang “fatigue”, menyangkut pengertiannya, sebab-sebab timbulnya fatigue, apa saja yang dapat menjadi indikator fatigue, dan pengaruhnya pada aspek-aspek psikologis yang berhubungan dengan kegagalan performance seseorang dan/atau penerbang pada khususnya. Pada akhir tulisan akan diulas juga upaya pencegahan penurunan performance karena sebab-sebab fatigue termasuk cara dan kiat-kiat menghadapi dan mengatasi fatigue.
Hal yang perlu diingat adalah bahwa pemahaman tentang timbulnya fatigue dan pengaruhnya terhadap performance yang dicurigai sebagai penyebab terjadinya insiden atau accident antara kasus kecelakaan yang satu dan lainnya tidak selalu sama. Tulisan ini bersifat informatif bersumber dari studi literatur yang didasarkan atas penelitian empirik maupun studi kasus (lihat daftar kepustakaan).


Pengertian
Secara harafiah, fatigue dapat diartikan secara sederhana sama dengan kelelahan yang sangat (deep tiredness), mirip stres, bersifat kumulatif. Bila dikaitkan dengan pengalaman seperti apa sebenarnya fatigue itu, pengertiannya menjadi bervariasi. Dari berbagai literatur, fatigue sering dihubungkan dengan kondisi kurang tidur, kondisi akibat tidur yang terganggu, atau kebutuhan kuat untuk tidur yang berhubungan dengan panjangnya waktu kerja, dan stres-stres kerja (dan penerbangan) yang bervariasi. Ahli lainnya sering mengkaitkan fatigue dengan perasaan lelah bersifat subjektif, hilangnya perhatian bersifat temporer, dan menurunnya respon psikomotor ; atau, berhubungan dengan gejala-gejala yang dikaitkan dengan menurunnya efisiensi performance dan skill; atau, berhubungan dengan menurunnya performance sebagai hasil dari akumulasi stres-stres dalam penerbangan. Fatigue juga kerap dikaitkan dengan kondisi non-patologis yang dapat membuat kemampuan seseorang menurun dalam mempertahankan kinerja yang berhubungan dengan stres fisik maupun mental ; atau, terganggunya siklus biologis tubuh (jet lag).


Macam Fatigue
Terdapat dua macam fatigue, yaitu fatigue jangka pendek (short-term fatigue) dan fatigue jangka panjang (long-term fatigue/chronic fatigue).


  Short-term fatigue, sering dihubungan dengan kelelahan yang biasanya dikaitkan dengan kurang tidur atau  
  istirahat, kerja fisik atau mental yang berlebihan, periode waktu tugas yang lama, kurang asupan, atau jet lag.
  Short-term fatigue relatif mudah dikenali dan dapat diatasi dengan tidak terbang dan beristirahat yang cukup.


  Long-term fatigue atau fatigue bersifat kronis lebih sulit dikenali. Fatigue jenis ini dapat muncul dari sejumlah 
  penyebab yang bervariasi termasuk ; tidak fit baik fisik maupun mental, kondisi stres baik karena masalah 
  pekerjaan ataupun rumah tangga, kekhawatiran finansial dan beban kerja. Fatigue ini juga dapat bersifat subjektif, 
  artinya ada penerbang yang memiliki toleransi yang cukup tapi lainnya tidak, bisa juga terjadi pada seorang 
 penerbang dimana saat ini ia lebih toleran terhadap fatigue waktu dari sebelumnya. Bagi siapa saja yang mengalami   fatigue yang bersifat kronis, tidak terbang adalah tindakan yang bijaksana.



Sebab-sebab Fatigue
Terdapat beberapa situasi yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi fatigue. Situasi tersebut bisa fisik-fisiologis maupun pikologis. Secara umum sebenarnya fatigue merupakan hasil dari konsumsi resources baik fisik dan/atau mental. Manifestasi fatigue dapat berupa perasaan letih (feeling of tiredness) atau menurunnya kinerja (drop of performance). Beberapa situasi yang dapat dikaitkan sebagai penyebab terjadinya fatigue, antara lain;
  • Kebutuhan tidur, baik karena kurang tidur atau terganggu.
  • Jadual waktu kerja dan istirahat yang menyebabkan circadian desynchronization.
  • Posisi duduk yang terbatas dalam durasi penerbangan yang lama.
  • Kekurangan nutrisi dan cairan yang berhubungan dengan terbatasnya asupan.
  • Cockpit ergonomics and equipment yang tak nyaman.
  • Noise atau kebisingan.
  • Vibration.
  • Hypoxic environments, perubahan tekanan atmosfer, tingkat kelembaban dan perubahan temperatur.
  • Akibat dari zat-zat dan obat-obatan tertentu, seperti; caffeine, alkohol, antihistamines, dsb.
  • Accelerative forces and G-related stress.
  • Stres-stres psikologis yang berhubungan dengan situasi kerja maupun misi-misi penerbangan khususnya di lingkungan militer.
Simptom-simptom Fatigue
Selain memahami sebab-sebab timbulnya fatigue, perlu diwaspadai konsekuensi dari timbulnya fatigue. Oleh karenanya, adalah penting untuk memperhatikan simptom-simptom penurunan performance yang disebabkan fatigue (Rosekind, et.al 2003). Beberapa simptom penurunan performance yang disebabkan fatigue, antara lain;
Penurunan motivasi dan perubahan suasana hati. Simptom awal dari fatigue dan kurang tidur biasanya adalah berubahnya perasaan/suasana hati (moods) menjadi lebih negatif. Terkait dengan hal ini, umumnya orang melaporkan munculnya rasa malas untuk memulai kerja atau merasa kurang bertenaga, mudah tersinggung, diliputi perasaan negatif, dan mengantuk. Dan, mereka yang mengalami hal tersebut seringkali menyangkal bahwa mereka mengalami hal tersebut. Perubahan minat dan motivasi sering dikaitkan dengan menurunnya performance. Menurunnya inisatif dan meningkatnya perasaan tidak suka serta perasaan mudah tersinggung pada akhirnya akan menurunkan pula kemauan untuk berinteraksi dengan orang lain, suatu indikasi dari kemungkinan kegagalan kerjasama tim.
Penurunan rentang perhatian (span of attention). Hasil sejumlah penelitian (dalam Cassie, et.al., 1964 & Dhenin, et.al. 1978) menunjukan bahwa fatigue dan terganggunya waktu tidur akan menyempitkan rentang perhatian dan kesulitan berkonsentrasi terhadap tugas-tugas tertentu khususnya yang membutuhkan tingkat kewaspadaan tinggi. Gangguan tidur seperti terbangun karena mimpi, mempunyai efek yang sama dengan gangguan sistematika berfikir yang dapat menyebabkan kehilangan perhatian sesaat (lapses of attention) dan menurunnya kemampuan konsentrasi. Sejalan dengan meningkatnya fatigue dan berkurangnya waktu tidur membuat lapses of attention menjadi meningkat pula.
Kehilangan daya ingat jangka pendek. Tanda yang jelas sebagai akibat hilangnya waktu tidur adalah ketidak mampuan mengingat apa yang pernah didengar, dilihat, atau dibaca sebelumnya (Dhenin, et.al.1978). Hilangnya daya ingat terutama terjadi pada daya ingat jangka pendek (short term memory). Seseorang yang mengalami fatigue akan lupa tentang pesan-pesan, data yang baru dibacanya. Sebuah penelitian melaporkan, individu yang tidak tidur dalam 24 jam akan gagal mengingat beberapa informasi atau materi yang baru dibacanya. Setelah 48 jam tidak tidur karena harus bekerja terus menerus maka daya ingat bahan/materi yang baru dibacanya akan menurun labih dari 40 persen.
Waktu reaksi melambat. Sebenarnya fatigue dan terganggunya waktu tidur tidak hanya menurunkan kecepatan reaksi tapi juga akurasi reaksi. Bahayanya fatigue dan hilangnya waktu tidur kadang kurang dapat diprediksi jenis respon-respon apa saja yang terganggu. Hal ini tergantung dari tugas apa yang sedang dilakukan, karena pada tugas tertentu ada yang lebih peka terhadap terganggunya waktu tidur dan fatigue, untuk tugas yang lain kurang peka. Tidak tidur dalam satu malam mungkin efeknya kecil pada 5 menit pertama pelaksanaan tugas yang menuntut kewaspadaan, tapi bila tugas tersebut harus dilakukan selama 15 menit maka performance akan memburuk. Bertambahnya tingkat kesulitan tugas menyebabkan respon jadi lebih lama yang mengakibatkan performance menjadi rusak.
Tidak menyadari adanya penurunan performance. Dalam kondisi fatigue, individu biasanya lebih mudah menerima tingkat performance yang lebih rendah dan seringkali sebenarnya mereka tahu kesalahannya tetapi tidak berusaha mengkoreksinya. Disamping itu, kondisi fatigue juga membuat seseorang kehilangan fleksibilitas dalam pendekatan masalah serta kemampuannya mengamati suatu persoalan atau dalam melihat kemungkinan baru dalam mengatasi masalah.
Menurunnya interpersonal skills dan kegagalan crew coordination. Seperti telah disinggung sebelumnya, fatigue dapat menyebabkan menurunnya inisatif dan meningkatnya perasaan negatif serta perasaan mudah tersinggung yang pada akhirnya akan menurunkan pula kemauan untuk berinteraksi dengan orang lain, suatu indikasi dari kemungkinan kegagalan interaksi antar awak yang menyebabkan menurunnya kerjasama tim (Rosekind, et.al 2003). Dapat dikatakan bahwa faktor utama yang mendukung keberhasilan dan kegagalan operasi penerbangan adalah kemampuan awak pesawat memelihara komando, kendali, dan koordinasi antar awak pesawat. Problem koordinasi antar awak pesawat sebagai dampak dari fatigue, dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu; (1) ketidak tepatan dalam menetapkan prioritas tugas, (2) komunikasi yang tidak efektif, atau (3) tidak adanya tindakan koordinasi. Ketiga macam keterampilan ini dipercaya paling peka terhadap fatigue dan hilangnya waktu tidur.
Selain hal yang telah disebutkan di atas masih terdapat simptom lainnya, yaitu; lack of awareness, menurunnya keterampilan motorik, konsentrasi terpaku, poor instrument flying, dan cenderung kembali ke kebiasaan lama.


Penyelidikan Kasus-kasus Kegagalan Penerbangan Akibat Fatigue
Selanjutnya, tanda-tanda penurunan performance seperti telah diuraikan di atas dapat kita amati melalui beberapa kasus kejadian. Beberapa kejadian atau kecelakaan penerbangan yang disebabkan penurunan performance karena fatigue diulas di bawah ini;


Fatigue dan Mental Block serta Penyempitan Rentang Perhatian. Hubungan antara pengalaman kecelakaan pesawat terbang dan situasi yang berkaitan dengan fatigue (shift kerja yang panjang, istirahat yang kurang memadai, dsb.) sebenarnya telah dibuktikan oleh Mc. Farlan, seorang peneliti di bidang penerbangan. Dalam laporan penelitiannya ia menyimpulkan bahwa bila penerbang mengalami fatigue di luar batas kemampuannya akan meningkatkan frekuensi dari “personnel error” (seperti lupa, tidak akurat dalam mengendalikan pesawat, dsb). Salah satu efek fatigue yang meningkat tajam, mengakibatkan apa yang dikenal dengan “mentalblock”. Aspek mental yang berkaitan dengan hambatan dalam mengingat dan menurunnya daya assosiatif. Dan hal ini dapat terjadi ketika seseorang sedang melakukan tugas-tugas yang relatif mudah sekalipun. Konsekuensinya, nama yang akrab menjadi tak teringat, dan detil yang penting tidak terperhatikan, walaupun sesaat sebelumnya ia mampu mengingat dengan baik. Kondisi seperti ini merupakan isyarat yang perlu diwaspadai, bahwa yang bersangkutan tidak siap untuk berfikir dan bertindak efisien.
Dalam kasus lainnya, kondisi fatigue dapat menyebabkan tatapan perhatian cenderung menyempit dan rentang perhatian menjadi terbatas. Dalam kondisi seperti ini, penerbang cenderung lupa mencek instrumen di luar rentang perhatiannya, misalnya; panel disamping. Ia lebih memusatkan perhatiannya pada pengamatan dan/atau kesulitan-kesulitan yang membuatnya khawatir daripada aspek-aspek yang lebih penting dalam situasi penerbangan (Rosekind, et.al 2003). Konsekuensinya, reaksi-reaksi yang seharusnya dilakukan terhadap tanda-tanda yang diberikan oleh instrumen utama dapat berubah secara cepat ke reaksi-reaksi otomatis (refleks) yang bersifat primitif. Suatu reaksi alamiah bila seseorang mulai menjadi takut dan panik. Selanjutnya dapat diperkirakan bahwa yang bersangkutan bisa membuat kesalahan dalam mengambil tindakan vital atau paling esensial.


Fatigue dan Fleksibilitas dalam Pengambilan Keputusan. Pengambilan keputusan merupakan salah satu mata rantai yang penting dalam tindakan penerbangan. Lebih-lebih bila penerbang menghadapi situasi emergency. Kondisi fatigue yang dialami penerbang dapat mengakibatkan dampak yang sangat merugikan di bidang ini(Rosekind, et.al 2003).
Dalam keadaan fatigue, pangambilan keputusan cenderung kaku. Penerbang menjadi tidak fleksibel dalam mengamati berbagai alternatif tindakan yang paling aman. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan dampak yang berlawanan dari apa yang diharapkan, dan tentunya dapat berakibat fatal.
Sebenarnya pengambilan keputusan tak terlepas dari faktor psikologis yang telah dibicarakan sebelumnya. Seperti telah disinggung di atas, blocking mental dan penyempitan perhatian dapat mempengaruhi penerbang terutama dalam mendapatkan data informasi untuk dasar pertimbangan (judgement) sebelum keputusan diambil.
Bilamana fatigue mulai menyempitkan perhatian dan menghambat fleksibilitas berfikir, biasanya seseorang akan mengambil beberapa kemungkinan tindakan. Kemungkinan pertama, ia berusaha mengatasi situasi darurat dengan terpaku pada satu set prosedur yang khusus (biasanya yang termudah). Misalnya, ketika ia membuat suatu manuver dalam situasi pendaratan yang sulit, ia hanya mengandalkan instrumen saja. Atau, kemungkinan lainnya, dalam menghadapi situasi yang tak menguntungkan, penerbang mulai menurunkan standar akurasi performance yang lebih rendah. Suatu penyelidikan yang dikenal dengan “Cambridge Cockpit Experiment” (Cassie, et.al., 1964) melaporkan bahwa seseorang yang mengalami fatigue cenderung meningkat keinginannya untuk menerima standar akurasi performance yang lebih rendah. Kemungkinan lain yang bisa terjadi, penerbang terpaku hanya mengandalkan satu cara atau tindakan yang sering lebih sulit untuk mengatasi situasi yang dihadapinya, karena menurut pengalaman subjektifnya bila dia tidak menggunakan cara tersebut akan mengakibatkan konsekuensi yang lebih buruk. Ia mengambil tindakan yang diyakini secara subjektif tanpa didasarkan atas pemikiran yang logis dan realistis.


Fatigue dan “End Deterioration. Efek fatigue lainnya yang menarik untuk diamati adalah kekeliruan atau kesalahan-kesalahan yang muncul bila penerbang mulai mendekati atau memasuki tempat pendaratan. Efek ini sering disebut “end deterioration (Dhenin, et.al., 1978). Suatu kecenderungan kegagalan penerbang yang meningkat pada tahap-tahap akhir penerbangan. Interpretasi dari efek ini ialah kelelahan penerbang yang tak tertahan lagi untuk relaks atau beristirahat bila pesawat terbang mendekati akhir penerbangan.
Sebenarnya efek fatigue pada tahap-tahap akhir penerbangan dapat dimengerti. Dalam suatu penerbangan yang penuh dengan stres, pada titik tertentu penerbang akan mengalami kelelahan dan keinginan yang besar untuk beristirahat. Bila keinginan tersebut tak terbendung lagi akan menyebabkan penerbang ingin cepat-cepat sampai di pangkalan. Konsekuensinya, kewaspadaan dan kesiagaan menjadi menurun. Efek yang lebih buruk lagi bila saat itu fatigue mulai mempengaruhi “skilled performance”. Beberapa eksperimen dari Bartlett dan Davis (Cassie et.al., 1964) menunjukan bahwa stres yang dialami secara terus menerus akan menyebabkan fatigue yang muncul dalam bentuk menurunnya “skilled performance”. Dilaporkan pula bahwa penurunan performance tersebut umumnya tidak disadari oleh yang bersangkutan.
Berbagai efek dari “end deterioration” tersebut mempunyai implikasi yang besar untuk terjadinya kecelakaan. Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa frekuensi kecelakaan pada saat pendaratan dapat dikatakan cukup tinggi. Suatu penelitian mengindikasikan bahwa kecelakaan pada saat pendaratan yang berhubungan dengan sebab-sebab fatigue adalah “undershoot” (Cassie et.al., 1964). Dilaporkan bahwa tidak kurang dari 17 kejadian diantara 23 kasus kecelakaan yang diteliti dalam jangka waktu tertentu.


Fatigue dan “Series of error. Efek fatigue tidak saja mengakibatkan kecelakaan pada akhir suatu sorti penerbangan. Ia bisa juga terjadi ketika lepas landas atau tak berapa lama setelah lepas landas. Hal ini biasanya disebabkan oleh suatu seri kesalahan (“series of error”) sejak persiapan penerbangan saat masih di darat. Dari suatu misi penerbangan yang panjang, para awak pesawat tiba dengan selamat di suatu pangkalan untuk beristirahat dan keesokan harinya akan melanjutkan penerbangan, mungkin melakukan penerbangan untuk kembali ke home base, atau melanjutkan penerbangan ke pangkalan terdepan dalam misi operasi lainnya. Diharapkan pada malam sebelumnya penerbang (dan awak pesawat lainnya) dapat memanfaatkan waktu untuk beristirahat. Tetapi sering kali keterbatasan waktu membuat tidak mungkin beristirahat secara memadai, atau pada kasus lainnya penerbang tidak memanfaatkan waktu istirahatnya dengan baik. Keadaan seperti ini jelas tidak menguntungkan kondisi fisik maupun mental yang bersangkutan. Kondisi fatigue yang disebabkan waktu istirahat yang terganggu atau tidak dimanfaatkan dengan baik setelah suatu penerbangan yang panjang dapat mengakibatkan menurunnya kewaspadaan dan kelambanan reaksi. Lebih jauh lagi bila kondisi tersebut sudah mempengaruhi pola dan sistimatika berfikir, maka sedikit banyak akan mempengaruhi persiapan dan perencanaan penerbangan.Hasil penelitian dari “series of error” (Angus et.al., 1985) yang berkaitan dengan terjadinya kecelakaan pesawat terbang dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain ; Kecenderungan kekeliruan dalam membuat persiapan penerbangan ; Penerbang melakukan error yang serius dalam memperkirakan ketahanan penerbangan ; Keliru dalam mengamati penyelurusan ketika memasuki ketinggian tertentu pada saat merencanakan penerbangan ; Keliru ketika mencek navigasi karena perkiraan posisi yang salah ; Keliru dalam mempertahankan ketinggian yang aman ; Kesalahan ketika penerbang secara prematur mulai menurunkan ketinggian.


Upaya Pencegahan Penurunan Performance Karena Fatigue
Karena biasanya penerbang atau awak pesawat lainnya tidak bisa sepenuhnya beristirahat disela-sela operasi yang terus menerus, maka penting mereka dapat memanfaatkan waktu untuk beristirahat dan tidur yang minimal, setidaknya untuk memelihara atau mengembalikan kondisi agar performance dapat tetap efektif. Beristirahat atau breaks (istirahat tapi tidak tidur) dipercaya cukup bermanfaat bagi individu yang sedang melaksanakan tugas terbang terus menerus (Angus, et.al., 1987). Performance dan kondisi suasana hati (mood) secara konsisten menjadi lebih baik segera setelah orang beristirahat lebih kurang satu jam. Namun efek positif dari istirahat disela-sela tugas operasi intensif terhadap performance bersifat jangka pendek. Cara ini tidak bermanfaat untuk seterusnya bekerja dengan performance optimal. Karena cara yang paling efektif untuk mengatasi efek negatif dari fatigue dan tidak tidur adalah dengan tidur itu sendiri. Bila tidak memungkinkan untuk tidur tanpa terganggu, tidur sejenak tetap lebih baik daripada tidak tidur samasekali, dan lebih lama waktu tidur akan lebih baik bagi kondisi seseorang untuk tetap siaga (alert). Walau ada perdebatan antar ahli dalam hal ini, namun tidur sejenak (nap) yang dilakukan antara 20 – 30 menit di tempat duduk cukup efektif untuk kembali segar, dan durasi nap minimum tidak kurang dari 10 menit untuk memperoleh efek pemulihan (Angus, et.al., 1987). Namun yang perlu diperhatikan adalah nap bersifat individual sehingga bervariasi antara individu satu dan lainnya. Ada yang mendapatkan dampak positif namun mungkin ada yang tidak mendapatkan dampak yang tidak mendapatkan manfaat bagi lainnya. Bagi mereka yang belum terbiasa melaksanakan nap, dampaknya bisa berbeda. Selain itu, yang perlu diwaspadai adalah bahwa setelah nap kondisi segar (fresh) tidak terjadi serta merta, diperlukan beberapa menit untuk mengumpulkan kesadaran, adanya reaksi yang lambat, dan umumnya untuk kembali dapat bereaksi secara normal setelah ± 5 menit terbangun.
Pada dasarnya fungsi tidur tidak diartikan bahwa seseorang harus tidur lebih lama sebagai persiapan tubuh agar hari berikutnya tidak usah tidur. Fungsi tidur tidak dilihat sebagai tabungan. Tidur normal adalah 7 sampai 8 jam sebelum tugas operasi (Rosekind, et.al 2003), bukan tidur lebih lama untuk mempersiapkan kondisi tubuh menghadapi tugas operasi dimana kemungkinan sulit untuk mencari waktu istirahat dan tidur. Waktu tidur akan lebih efektif dimanfaatkan untuk beristirahat setelah waktu yang cukup lama tidak tidur. Penelitian (Naitoh, et.al., 1986) menunjukan setelah 36 sampai 48 jam bekerja terus menerus, tingkat minimal performance dapat dicapai kembali sesudah beristirahat 12 jam, walaupun suasana hati relatif tak berubah.
Disamping cara-cara seperti tersebut di atas, masih ada beberapa kiat yang dapat dilakukan sebagai upaya mencegah penurunan performance karena fatigue, antara lain;
  • Menerima bahwa fatigue merupakan potensi yang dapat menimbulkan masalah.
  • Rencanakan tidur/istirahat secara proaktif (rencanakan tidur/istirahat sebelum melaksanakan aktivitas berdurasi lama/panjang).
  • Manfaatkan olah raga (exercise) sebagai bagian untuk relaksasi dan jaminan bahwa kita dalam kondisi fit.
  • Kendalikan emosi dan kehidupan psikologis.
  • Yakinkan diri bahwa kondisi kokpit nyaman.
  • Yakinkan diri bahwa telah tersedia makanan dan minuman yang cukup untuk penerbangan yang panjang.
  • Yakinkan diri bahwa tempat duduk sudah disesuaikan (adjusted).
Cara lain namun lebih membutuhkan keahlian, terutama dari flight surgeon (dokter penerbangan), adalah dengan memanfaatkan obat-obat tertentu seperti stimulan, atau caffeine untuk memperoleh kondisi instan tetap terjaga atau menahan kantuk. Upaya-upaya ini cukup efektif namun diperlukan keahlian dan pengalaman karena bila tidak sesuai atau berlebihan malah akan memberikan dampak yang tidak diinginkan.


Penutup
Sebenarnya, sejauh seseorang berada dalam keadaan segar, ia akan mampu melaksanakan tugas-tugas yang paling rumit sekalipun, juga bila tugas-tugas tersebut sangat menuntut perhatiannya. Bila seseorang dalam hal ini penerbang mengalami kelelahan atau fatigue, baik karena stres yang berlangsung terus menerus ataupun waktu istirahat yang tidak dimanfaatkan dengan memadai, ia akan memperlihatkan penurunan performance. Dan, cara yang paling efektif untuk mengatasi efek negatif dari fatigue dan tidak tidur adalah dengan tidur itu sendiri. Bila tidak memungkinkan untuk tidur tanpa terganggu, tidur sejenak tetap lebih baik daripada tidak tidur samasekali, dan lebih lama waktu tidur akan lebih baik bagi kondisi seseorang untuk tetap siaga (alert).

Kepustakaan
Angus, R.G., Heselgrave, R.J., Pigeu, R.A., & Jamieson, D.W., (1987). Psychological Performance Durring Sleep Loss and Continuous Mental Work: The Effort of intrajected Naps. Lyon, France: NATO Seminar, 16-17 March 1987.
Angus, R.G., Heselgrave, R.J., & Miles,W.S, (1985). Effects of Prolonged Sleep Deprivation, With and Without Chronic Physical Exercise, in Mood and Performance. Psychophysiology.
Cassie, A., Foklema, S.D., Parry, J.B., (Ed’s). (1964). Aviation Psychology: Studies on Accident Liability, Proficiency Criteria and Personnel Selection. Paris: Mouton & Co.
Dhenin, S.G., Sharp, G.R., dan Ernsting, J., (1978). Aviation Medicine, Physiology and Human Factors. London : Tri-Med Books Ltd.
Naitoh, P., Englund, C.E., & Ryman, D.H., (1986). Sleep Management in Sustained Operation’s User Guide (NHRC Report No. 86-22). San Diego: Naval Health Research Center.
Rosekind, R.M., Gregory, B.K., Miller, D.L., Lebacqz, J.V., and Brenner, M., (2003). Examiner Fatigue Factors in Accident Investigations: Analysis of Guantanmo Bay Aviation Accident. Alertness Solutions. NASA Ames Research Center, and National Transportation Safety Board.
Sells, S.B., Berry, C.A., (1961). Human Factors in Jet and Space Travel. New York : The Roland Press Co.
The Oxford Aviation Training, (2001). Human Performance and Limitation. Oxford Aviation Services Limited.